ETOS KERJA MASA KINI

100 Etos Kerja yang disusun dari refleksi lintas generasi (Gen X, Y, Z), tidak hanya menggambarkan prinsip etos kerja klasik, tetapi juga mencerminkan dinamika, gaya kerja, dan nilai-nilai baru dalam dunia kerja modern.

🔹 A. Prinsip Dasar Etos Kerja 

1. Tuntaskan tugas yang dipercayakan.

2. Hargai waktu—datang tepat waktu, selesaikan tepat waktu.

3. Bertanggung jawab atas hasil kerja sendiri.

4. Konsisten, bukan hanya rajin sesekali.

5. Profesional meski sedang tidak mood.

6. Tidak mencampur urusan pribadi dalam urusan kerja.

7. Memiliki komitmen terhadap kualitas kerja.

8. Bekerja bukan hanya untuk gaji, tetapi juga kontribusi.

9. Menepati janji dan kesepakatan.

10. Menghormati kolega, klien, dan atasan.

11. Jujur dalam proses dan hasil kerja.

12. Tidak mencari alasan saat gagal.

13. Menerima kritik dengan sikap terbuka.

14. Sadar akan posisi dan tanggung jawab.

15. Memberi update saat ada kendala, bukan menghilang.

16. Memiliki etika komunikasi yang baik.

17. Mau belajar hal baru secara terus-menerus.

18. Menjaga kerahasiaan dan privasi pekerjaan.

19. Tidak menjatuhkan rekan kerja demi naik jabatan.

20. Menghormati batasan waktu kerja dan istirahat.

🔹 B. Loyalitas dan Komitmen 

21. Loyal terhadap misi dan nilai, bukan hanya institusi.

22. Tetap memberikan yang terbaik meski dalam masa transisi.

23. Mampu menjaga komitmen meski berpindah kerja.

24. Membangun hubungan jangka panjang dengan integritas.

25. Memilih bertahan karena merasa dihargai, bukan karena takut.

26. Menghindari budaya “asal bos senang”.

27. Tidak mengorbankan kesehatan demi loyalitas buta.

28. Menolak tempat kerja yang merusak mental dan fisik.

29. Loyal terhadap diri sendiri dan prinsip pribadi.

30. Loyalitas tumbuh dari rasa memiliki, bukan paksaan.

31. Tidak membandingkan komitmen generasi, tapi saling memahami.

32. Memiliki ketekunan bahkan dalam pekerjaan yang tidak ideal.

33. Komitmen diuji saat tantangan datang.

34. Tidak mudah pindah hanya karena tidak “sreg” di minggu pertama.

35. Menjaga kepercayaan tim atau klien dengan tanggung jawab penuh.

36. Memisahkan kritik terhadap sistem dari komitmen terhadap tugas.

37. Mengetahui kapan bertahan, kapan perlu mundur secara terhormat.

38. Membangun reputasi lewat kehadiran yang konsisten.

39. Tidak mengandalkan pujian sebagai satu-satunya motivasi.

40. Loyalitas tidak harus “selamanya”—tapi tetap utuh selama berlangsung.

🔹 C. Kesehatan Mental & Gaya Hidup 

41. Menjaga keseimbangan antara kerja dan hidup pribadi.

42. Mengetahui batas antara performa dan burnout.

43. Tidak merasa bersalah karena memilih istirahat.

44. Menolak glorifikasi “lembur sebagai bukti dedikasi”.

45. Memilih tempat kerja yang fleksibel demi kesehatan mental.

46. Menentukan jam kerja ideal sesuai kebutuhan pribadi.

47. Mengenal tanda-tanda stres dan segera bertindak.

48. Tidak membawa pekerjaan ke ranah keluarga atau pasangan.

49. Tidak menjadikan pekerjaan sebagai identitas tunggal.

50. Mengakui kebutuhan akan ruang dan waktu sendiri.

51. Tidak harus “aktif 24 jam” untuk dianggap pekerja keras.

52. Menghindari budaya toxic productivity.

53. Menghormati waktu istirahat kolega.

54. Memprioritaskan koneksi sosial sehat di tempat kerja.

55. Mampu mengatakan “tidak” tanpa rasa bersalah.

56. Mengembangkan hobi di luar pekerjaan untuk menjaga kewarasan.

57. Menyadari bahwa tidak semua kesalahan disebabkan oleh diri sendiri.

58. Tidak menilai hidup hanya dari performa kerja.

59. Menerima bahwa kadang kita bisa tidak sempurna.

60. Mengizinkan diri untuk gagal tanpa merasa tidak layak.

🔹 D. Kolaborasi & Adaptasi Lintas Generasi 

61. Tidak memaksakan satu gaya kerja kepada generasi lain.

62. Terbuka terhadap pendekatan kerja digital dari Gen Z.

63. Tidak menganggap "yang muda" malas, hanya karena berbeda gaya.

64. Tidak menganggap "yang tua" kuno, hanya karena tidak cepat.

65. Menyadari bahwa teknologi mempercepat kerja, bukan menggantikan usaha.

66. Membangun dialog terbuka antar generasi.

67. Fokus pada hasil, bukan metode.

68. Memahami bahwa fleksibilitas bukan berarti tidak disiplin.

69. Menerima bahwa tiap generasi punya kekuatan dan blind spot sendiri.

70. Menilai rekan kerja dari kualitas, bukan usia.

71. Berani memimpin lintas generasi dengan empati.

72. Mau belajar dari generasi setelah kita.

73. Tidak mudah menghakimi pola pikir yang berbeda.

74. Mendorong akuntabilitas dalam kerja tim.

75. Tidak bergantung pada “sweet talk” untuk mendapatkan posisi.

76. Menilai orang dari kinerja dan nilai yang dibawa.

77. Tidak mempermainkan politik kantor untuk keuntungan pribadi.

78. Membangun koneksi antar generasi dengan rasa hormat.

79. Menghindari sikap “zaman gue lebih susah” sebagai pembanding.

80. Menjadi jembatan komunikasi antara cara kerja lama dan baru.

🔹 E. Pengembangan Diri & Passion

81. Mengenal kekuatan dan karakter diri sendiri.

82. Tidak menjadikan passion sebagai satu-satunya acuan kerja.

83. Menyadari bahwa passion tumbuh lewat proses.

84. Memiliki grit meski sedang tidak dalam kondisi ideal.

85. Tetap belajar bahkan dari pekerjaan yang membosankan.

86. Menggunakan tes kepribadian untuk mengenali diri.

87. Memilih pekerjaan yang selaras dengan nilai pribadi.

88. Tidak terlalu sibuk membandingkan karier orang lain di media sosial.

89. Mengembangkan resiliensi saat tantangan datang.

90. Tidak menjadikan motivasi eksternal sebagai satu-satunya bahan bakar.

91. Menghargai jam terbang sebagai guru terbaik.

92. Mau mencoba walau belum yakin 100%.

93. Tidak tergoda untuk selalu lompat ke “yang lebih viral”.

94. Membangun reputasi lewat hasil kerja, bukan pencitraan.

95. Menyadari bahwa setiap pekerjaan punya fase tidak nyaman.

96. Mengembangkan kemampuan diplomatis tanpa kehilangan ketulusan.

97. Tidak menjilat untuk dapat posisi—pilih elegan & profesional.

98. Memahami batas antara strategi sosial dan manipulasi.

99. Menggunakan relasi untuk kolaborasi, bukan eksploitasi.

100. Menganggap pekerjaan sebagai tempat tumbuh, bukan pelarian.


Sumber Dikembangkan dari informasi 

https://www.youtube.com/watch?v=LHXNFg0GXK0

In Her View | Episode 8 - Intergenerational Work Ethic

Dimensi Wellness dalam Etos Kerja Antargenerasi"

Menemukan Keseimbangan di Tengah Etos Kerja Antargenerasi

Di zaman yang bergerak cepat ini, dinamika tempat kerja tidak hanya bicara soal target dan produktivitas. Ada sesuatu yang jauh lebih dalam dan personal: wellness—kesejahteraan menyeluruh yang mencakup fisik, mental, emosional, hingga relasi sosial.

Menariknya, dimensi wellness ini sering kali berbenturan dengan nilai-nilai kerja dari berbagai generasi. Gen X, Millennials, hingga Gen Z memiliki cara pandang berbeda terhadap kerja, loyalitas, dan keseimbangan hidup. Lalu, bagaimana kita bisa saling memahami dan menciptakan ruang kerja yang sehat untuk semua?

Generasi Berbeda, Tantangan Berbeda

Banyak dari Gen X mengaku heran melihat Gen Z yang cepat bosan, mudah resign, dan seolah tidak tahan tekanan. Tapi perlu diingat, mereka lahir di dunia yang berbeda—dunia yang serba cepat, serba instan, dan penuh pilihan.

Terlalu banyak pilihan justru bisa melumpuhkan. Fenomena ini disebut choice paralysis. Banyak dari mereka merasa harus tahu "passion sejati" sebelum memilih karier, atau takut salah langkah karena selalu dibandingkan di media sosial.

Loyalitas: Dari Institusi ke Nilai Pribadi

Bagi generasi sebelumnya, loyalitas adalah tentang bertahan. Tapi bagi banyak pekerja muda saat ini, loyalitas bukan sekadar waktu, melainkan kesesuaian nilai. Mereka bisa setia, tapi bukan pada kantor—melainkan pada diri sendiri, pada hal-hal yang mereka yakini bermakna.

Bekerja dengan sepenuh hati hanya akan terjadi ketika mereka merasa dihargai, dihormati, dan diberi ruang untuk berkembang. Mereka lebih memilih pindah daripada tinggal di tempat yang membuat mental runtuh.

Profesionalisme dan Batas Sehat

Profesionalisme hari ini tidak lagi identik dengan kerja lembur tanpa henti. Profesional justru berarti tahu batas, tahu kapan harus berhenti, dan tahu bagaimana menjaga diri.

Banyak yang akhirnya memilih fleksibilitas, bukan karena manja, tapi karena mereka sadar bahwa kesehatan mental tak ternilai harganya. Mereka ingin bekerja keras dengan sadar, bukan sekadar menjadi roda dalam sistem yang tidak peduli.

Gaya Kerja yang Selaras Karakter

Dimensi wellness juga berkaitan erat dengan fit pekerjaan. Bekerja bukan soal ikut tren, tapi soal kecocokan karakter. Ada yang cocok di kantor, ada yang lebih hidup saat bekerja remote atau proyek lepas.

Tes kekuatan karakter seperti character strength test bisa membantu kita mengenal diri lebih dalam. Ketika pekerjaan sesuai kekuatan, kita merasa lebih puas, lebih tahan terhadap tekanan, dan lebih termotivasi untuk berkembang.

Tidak Semua Pekerjaan Harus Jadi Passion

Penting untuk punya passion, tapi bukan berarti semua pekerjaan harus menyenangkan setiap hari. Kadang, pekerjaan yang tidak kita cintai tetap bisa mengajar kita tentang grit, disiplin, dan tanggung jawab.

Justru dari situ kita bisa belajar motivasi sejati: mampu tetap bekerja, bahkan saat hati sedang tidak sejalan.

Realitas Sosial: Wellness adalah Hak, Bukan Privilege

Tidak semua orang punya kemewahan untuk memilih pekerjaan impian. Tapi tetap penting untuk menjaga wellness di tengah realitas hidup. Mungkin tidak bisa berhenti, tapi bisa belajar menetapkan batas. Bisa mulai merawat diri meski perlahan.

Dimensi wellness mengajak kita untuk tidak hanya bertanya: “Apakah aku cukup produktif?” tapi juga, “Apakah aku cukup sehat? Apakah aku merasa dihargai? Apakah pekerjaanku masih bermakna?”

Menuju Ruang Kerja yang Lebih Manusiawi

Setiap generasi membawa perspektif yang berharga. Yang muda membawa semangat, yang tua membawa pengalaman. Daripada saling menyalahkan, lebih baik kita saling belajar.

Karena kerja bukan sekadar mencari uang atau status—tapi juga tempat kita membangun makna, harga diri, dan versi terbaik dari diri sendiri.


Topik: Etos Kerja dan Gaya Kerja Antargenerasi

  1. Banyak keluhan dari Gen X terhadap Gen Z, padahal mereka berada di zaman yang berbeda.
  2. Gen Z mungkin mengalami choice paralysis karena terlalu banyak pilihan, yang membuat mereka bingung menentukan arah.
  3. Saat ini, ada tren membuat konten secara instan dan sederhana—misalnya hanya perlu menyikat gigi dan bisa jadi viral.
  4. Segala sesuatu terasa serba instan sekarang.

Gaya Kerja & Nilai Loyalitas

  1. Loyalitas dianggap penting oleh beberapa generasi, terutama Gen X dan Millennials awal.
  2. Ada yang merasa bangga bisa bekerja di satu institusi dan memberikan 1000% dedikasi meskipun tahu bahwa dunia kerja itu tidak selalu membalas dengan loyalitas yang sama.
  3. Ada juga yang sudah berpindah tempat kerja, namun tetap menunjukkan loyalitas di tempat-tempat yang membuat mereka nyaman dan merasa dihargai.
  4. Loyalitas bisa berarti berbeda bagi tiap orang—ada yang loyal kepada perusahaan, ada yang loyal kepada diri sendiri dan nilai-nilai pribadi.
  5. Bagi sebagian orang, bekerja untuk diri sendiri lebih penting daripada loyal terhadap institusi.

Profesionalisme & Kesehatan Mental

  1. Profesionalisme berarti tahu apa yang dikerjakan dan apa nilai kontribusi pribadi terhadap pekerjaan itu.
  2. Banyak yang merasa bahwa lingkungan kerja adalah prioritas nomor satu, bahkan lebih penting daripada gaji.
  3. Pengalaman buruk dalam hal kesehatan karena terlalu loyal menjadi titik balik bagi sebagian orang untuk lebih memilih kesehatan dan keseimbangan.
  4. Bekerja di tempat yang memberi fleksibilitas dan rasa nyaman mendorong munculnya loyalitas alami.
  5. Beberapa orang menolak bekerja di tempat yang membuat mereka tidak nyaman, meskipun itu berarti harus mundur dengan cepat.
  6. Mengetahui batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi penting agar tidak terus membawa pulang beban kerja.

Menemukan Gaya Kerja Ideal

  1. Gaya kerja seperti freelancer cocok bagi yang suka membangun relasi dan mengenal orang secara personal.
  2. Karakter dan nilai pribadi sangat memengaruhi gaya bekerja. Ada yang lebih organik, fleksibel, dan cenderung menghindari sistem yang kaku.
  3. Penting untuk mengenali kekuatan dan kelemahan diri sendiri agar bisa memilih pekerjaan yang sesuai dan bertahan lama.
  4. Salah satu cara untuk mengenali kekuatan diri adalah melalui tes karakter seperti character strength test.
  5. Saat pekerjaan selaras dengan kekuatan karakter, kita akan merasa lebih puas dan memiliki resilience.

Refleksi & Realita

  1. Banyak orang saat ini tetap bertahan di pekerjaan demi memenuhi kebutuhan hidup, bukan karena passion.
  2. Tidak semua orang memiliki kemewahan untuk memilih pekerjaan yang sesuai hati, terutama di masa sulit ekonomi.
  3. Sangat penting untuk bersyukur jika bisa melakukan pekerjaan yang disenangi.
  4. Mengenal diri sendiri adalah langkah pertama untuk memahami gaya kerja yang paling cocok dan sehat secara mental.
  5. Gaya kerja sangat memengaruhi kesehatan mental—jika tidak menyukai pekerjaannya, seseorang bisa merasa depresi.

Kalau tidak menyukai apa yang kita lakukan, rasanya susah untuk punya grit. Kita hanya datang, mengerjakan tugas seadanya, lalu pulang. Tidak ada motivasi untuk memberikan yang terbaik—hanya sekadar menunggu gaji bulanan. Itu pun jadi beban ketika kita harus kerja bareng orang yang tampaknya tidak peduli, padahal kita sendiri sudah berusaha maksimal.

Inilah pentingnya mencintai pekerjaan. Karena saat tantangan datang, kalau kita tidak punya rasa suka, kita cepat menyerah. Tapi dari sisi lain, ada juga yang melihat pekerjaan secara fungsional: pekerjaan A untuk cari duit, pekerjaan B untuk networking, pekerjaan C karena memang seru. Jadi, walaupun tidak semua pekerjaan menyenangkan, tetap bisa ditakar: seberapa besar energi dan investasi yang ingin diberikan. Selama kita tetap profesional dan tahu batas, tidak masalah.

Namun, tidak semua orang punya kemewahan untuk hanya memilih pekerjaan yang dicintai. Grit dan ketekunan kadang justru tumbuh dari kebiasaan sejak kecil. Kadang kita suka, kadang tidak, tapi jam terbang tetaplah jam terbang. Pengalaman tetap berharga, bahkan saat semangat sedang tidak tinggi. Maka penting juga punya kemampuan untuk memotivasi diri sendiri di kondisi yang tidak ideal.

Menariknya, perbedaan generasi juga memengaruhi cara pandang terhadap pekerjaan. Generasi yang lebih dulu mungkin punya pilihan karier yang terbatas—dokter, polisi, guru. Sekarang, pilihan jauh lebih luas. Akibatnya, banyak orang bisa "coba-coba", punya ruang untuk eksplorasi. Tapi ini juga membuat sebagian orang bingung menentukan arah.

Dulu, tekanan datang dari persaingan. Kita dituntut perform karena tahu banyak orang lain mengincar posisi yang sama. Ini membentuk mentalitas kerja keras dan rasa takut tertinggal. Sekarang, banyak yang bilang, “Ngapain kerja kantoran? Jadi konten kreator aja.” Tapi jadi konten kreator pun perlu grit. Tidak semudah kelihatannya. Bahkan kehidupan pribadi bisa dikorbankan.

Zaman sekarang serba instan. Apa pun bisa viral. Tapi yang kelihatan gampang belum tentu mudah dijalani. Dibalik kesan santai, tetap ada tekanan, ketahanan mental, dan usaha yang konsisten.

Soal nilai kerja, generasi kita—baik yang masuk Gen X atau milenial—punya pemahaman tentang keseimbangan hidup. Jam kerja selesai, ya sudah, jangan ganggu urusan pribadi. Prinsip “kerja ya kerja, tapi hidup juga penting” jadi batas tegas.

Namun, loyalitas sekarang bukan lagi soal bertahan di tempat kerja bertahun-tahun, tapi soal apakah tempat itu sesuai dengan nilai dan tujuan hidup kita. Kita ingin pekerjaan yang bermakna, yang membuat kita merasa sedang membangun sesuatu yang penting.

Dulu, kita dianggap “rebel” hanya karena mempertanyakan sistem atau tidak mengikuti aturan yang tidak masuk akal. Tapi justru itu bentuk tanggung jawab kita terhadap diri sendiri dan pekerjaan.

Kini perusahaan pun mulai berubah. Mereka sadar cara lama tidak bisa lagi diterapkan pada generasi baru. Kita bukan tidak loyal, tapi loyalitas kita bersyarat: kita akan berkomitmen kalau merasa dihargai dan pekerjaannya bermakna.

Akhirnya, tiap generasi punya ciri masing-masing. Dan mungkin yang paling penting bukan generasinya, tapi bagaimana kita belajar memahami dan beradaptasi satu sama lain. Karena kerja bukan hanya soal hasil, tapi juga soal nilai, rasa, dan hubungan antarmanusia.

Generasi sekarang itu bisa dibilang tech-native problem solvers. Mereka sangat cepat, cekatan, dan terbiasa multitasking di laptop. Apa yang kita butuhkan satu jam untuk dikerjakan, mereka bisa selesaikan hanya dalam lima atau sepuluh menit. Kita ini generasi transisi—dari yang serba manual ke otomatis. Sedangkan mereka? Mereka itu udah full otomatis, bahkan bisa dibilang 'artificial'.

Dari segi pendekatan kerja, mereka juga suka kolaborasi, mirip dengan generasi milenial. Tapi bedanya, mereka lebih mengedepankan kerja tim. Walau begitu, menarik juga karena ada cerita di mana dalam tugas kelompok, semua orang terlalu bergantung satu sama lain, sampai akhirnya enggak ada yang benar-benar mau bertanggung jawab. Enggak ada yang mau ambil peran pemimpin. Jadi, bisa dibilang kadang kurang punya rasa tanggung jawab terhadap accountability.

Soal work-life balance, generasi sebelumnya seperti Gen X memisahkan tegas antara waktu kerja dan waktu pribadi. Misalnya, kerja dari jam 9 sampai 5, lalu setelah itu benar-benar off. Sementara generasi sekarang lebih fleksibel—mereka bisa kerja tengah malam, tapi di siang hari bisa pergi ke kelas pilates jam 2 siang. Yang penting, kerjaan selesai. Jadi, definisi work-life balance antar generasi itu memang beda-beda.

Biasanya yang bikin konflik antar generasi adalah saat satu generasi memaksakan cara kerjanya ke generasi lain. Tapi ada juga contoh yang baik—misalnya seorang atasan dari Gen X yang punya tim mayoritas milenial dan Gen Z. Dia paham bahwa anak-anak sekarang enggak selalu kerja 9-to-5, tapi dia enggak masalah selama target tercapai. Mau kerja dari kafe atau dari kasur, asal deliver, semua oke. Ini contoh kepemimpinan yang adaptif.

Sayangnya, banyak juga yang masih suka mengeluh dan membandingkan dengan “zaman dulu”. Padahal kita semua perlu beradaptasi. Dunia kerja sekarang udah berubah. Loyalitas pada perusahaan pun enggak bisa dipaksakan seperti dulu.

Namun memang ada tantangan, misalnya ada staf dari generasi Z yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Kalau sudah begitu, susah juga kalau cuma dikeluhkan—perlu ada pendekatan edukatif dan pembinaan karakter.

Generasi kita dulu punya rasa segan, ada batasan. Misalnya dimarahi atasan, ya sebel, tapi tetap bertahan. Ada rasa tanggung jawab dan kesadaran bahwa kerja itu pasti ada stresnya. Grit dan ketahanan mental itu penting, tapi sekarang justru kadang jadi lemah karena semuanya serba instan. Kita dulu harus baca 10 buku untuk cari jawaban. Sekarang? Tinggal Google.

Nilai seperti integritas, respek, dan ketekunan seolah berubah maknanya. Banyak yang enggak tahan di satu tempat terlalu lama. Satu bulan belum nemu purpose, langsung pindah. Passion pun jadi seperti kata yang terlalu diagung-agungkan. Padahal menurut sebagian dari kita, passion itu bukan satu-satunya hal yang harus dikejar.

Memang penting untuk punya passion, tapi bukan berarti semua harus sesuai passion. Kalau ketemu redaktur yang menyebalkan terus langsung menyerah, itu bukan berarti passion-nya hilang—mungkin yang diuji justru komitmen terhadap passion itu sendiri. Loyal bukan pada tempatnya, tapi pada misi atau tujuan yang lebih besar.

Passion itu bukan satu-satunya faktor penentu. Iya, penting untuk punya passion, tapi sebenarnya passion baru terasa "hidup" ketika kita menghadapi tantangan. Itu seperti api yang mendorong kita untuk terus maju. Sayangnya, banyak orang salah kaprah. Mereka bilang, "Aku enggak passionate di sini," padahal sebenarnya mereka belum benar-benar menemukan passion-nya.

Banyak dari kita sejak kecil sudah diarahkan berdasarkan tes—minat, bakat, kekuatan karakter. Dulu, kita harus mencari sendiri. Sekarang, semuanya seperti sudah disediakan. Akibatnya, muncul yang namanya choice paralysis—karena terlalu banyak pilihan, malah jadi bingung harus memilih yang mana. Belum lagi tekanan sosial dari media: melihat orang lain sukses di bidang tertentu, jadi merasa harus ikut-ikutan.

Anak-anak zaman sekarang pun merasakannya. Mereka bisa punya banyak minat sekaligus—ingin jadi ini, ingin jadi itu. Tapi kadang juga bingung, ini karena dorongan dari dalam diri sendiri atau karena ekspektasi keluarga, status sebagai anak sulung, atau pengaruh dari sekitar?

Lihat saja perkembangan mereka—anak SD sekarang sudah bikin game sendiri, pakai coding, mengangkat isu global seperti overpopulasi dan overkonsumsi. Dulu, hal seperti itu baru kita pelajari saat kuliah. Tapi sekarang? Umur 11 sudah bisa bikin proyek kelas dunia. Dan kita pun dibuat kagum sekaligus sedikit iri.

Lalu, bicara soal dunia kerja. Beberapa orang merasa tidak cocok jadi karyawan. Mereka tidak suka rutinitas, tidak nyaman harus tinggal di kantor meski pekerjaan sudah selesai, atau terjebak dalam dinamika sosial kantor yang membingungkan: mulai dari gosip, kesenjangan sosial, sampai relasi yang tidak profesional.

Ada juga yang lebih nyaman bekerja sebagai profesional lepas—masuk ke satu proyek, menyelesaikannya, lalu keluar tanpa harus terlibat terlalu jauh dengan urusan pribadi rekan kerja. Ini memberi ruang untuk tetap fokus, menjaga batasan, dan bekerja sesuai nilai diri.

Namun, di sisi lain, kadang interaksi sosial ringan seperti duduk 15 menit bersama rekan kerja justru bisa jadi pelumas hubungan profesional. Bisa membangun koneksi, empati, dan memudahkan kolaborasi. Jadi, bukan berarti semua bentuk "nongkrong kantor" itu buruk.

Tapi yang mengganggu adalah saat ada budaya di mana untuk naik level, seseorang merasa harus selalu "ada", hadir di luar jam kerja, ikut nongkrong, basa-basi, demi dilihat. Padahal, bagi sebagian orang, kontribusi nyata dan kredibilitas semestinya cukup. Tidak semua orang nyaman dengan permainan sosial semacam itu.

Akhirnya, kita perlu redefinisi soal "office politics". Mungkin bukan lagi soal intrik, tapi lebih ke bagaimana membangun relasi yang sehat, mengenal batas, dan tetap bisa jadi diri sendiri tanpa harus kehilangan peluang.

Aku suka banget ketika kamu langsung bilang "harus diplomatis", tapi sebenarnya contohnya gimana sih?

Maksudnya gini—kadang ada orang yang mungkin belum terlalu kompeten, tapi mereka bisa "sweet talk", ngomong manis. Banyak juga dari generasi Z atau bahkan Boomer yang suka sama pendekatan kayak gitu.

Contohnya, kalau ada tiga perempuan yang semuanya punya kemampuan MC yang mirip, tapi karakternya beda-beda. Satu orang tegas, to the point, jarang senyum, nggak terlalu ramah. Satu lagi biasa aja, di tengah-tengah. Satunya lagi super charming, suka muji, kayak, “Ih kamu cantik banget deh hari ini, blush on-nya apa sih? Aku mau kayak kamu deh!” Nah, di Indonesia, yang kayak gitu bisa jadi yang kepilih—bukan karena kompetensi, tapi karena cara dia mendekati orang.

Tapi itu bukan cuma soal generasi, itu juga budaya. Di sini lebih terasa. Mungkin karena aku besar di luar negeri, jadi merasa pendekatan kayak gitu kadang nggak masuk akal. Aku pribadi nggak suka, rasanya nggak tulus. Kalau ada orang baru langsung bilang, “Kamu lucu banget sih,” aku malah jadi risih.

Padahal ya, aku ngerti bahwa memang ada orang yang suka diperlakukan seperti itu, tapi kalau aku sendiri sih ngerasa itu fake. Bahkan ada pengalaman di mana seseorang yang kelihatan charming banget tetap dipilih, padahal kalau aku yang bikin kesalahan kayak dia, aku mungkin udah dipecat.

Menurut kalian itu skill atau talent?

Kalau menurutku, itu semacam strategi yang kadang dipakai buat tampil lebih di ruang kerja. Dalam bahasa Gen Z, itu disebut "pick me girl". Bukan yang langsung bilang “hai” atau agresif, tapi lebih ke sering muncul di tempat-tempat di mana orang yang ditargetin ada—biar kelihatan aja, atau kasih hampers misalnya.

Aku juga suka bingung, kayak, kalau kirim hampers ke atasan, mereka mikirnya apa ya? Takut dikira aku ngirim karena mau dapet sesuatu. Buatku, itu konflik kepentingan secara etika. Jadi aku pilih nggak ngirim sama sekali.

Kadang malah ada yang bilang, “Dia aja kirim hampers, kok kamu enggak?” Padahal sekarang semua bisa diposting di story, jadi makin terasa tekanan sosialnya.

Aku sendiri jarang kena yang kayak gitu karena kebanyakan kerjaan aku freelance atau remote, jadi jarang interaksi langsung di kantor. Tapi menarik banget dengerin cerita kalian.

Ngomong-ngomong, setelah bahas soal itu semua, menurut kalian apa sih work ethic yang baik, terutama di fase karier kalian sekarang?

Jawaban mereka:

  • Deliver: Kalau dikasih tugas, ya kerjain. Mau kerjanya dari mana pun—pantai, gunung, rumah—asal hasilnya sesuai. Itu bisa bikin kolaborasi antar generasi lebih lancar.
  • Disiplin: Hormatin waktu dan komitmen. Kalau aku menghargai kamu, kamu juga harus menghargai aku.
  • Akuntabilitas & Integritas: Jangan tiba-tiba menghilang. Kalau diminta update, ya kasih kabar, meskipun lagi dipijat atau olahraga. Nggak perlu langsung, tapi dalam 1–2 jam, kasih respons.
  • Push Yourself: Kita kerja bareng banyak orang, jadi nggak usah membandingkan diri, tapi terus berkembang dan jadi versi terbaik diri sendiri. Ketika seseorang memilih kamu untuk posisi tertentu, itu berarti mereka udah percaya sama kamu. Jadi balas kepercayaan itu dengan hasil terbaik.
  • Kompas Moral: Apapun peran dan pekerjaanmu, integritas itu fondasi. Lakukan pekerjaan dengan sungguh-sungguh dan bertanggung jawab. Orang akan respek karena itu.

Di akhir, mereka saling mengucapkan terima kasih dan ngajak pendengar buat share cerita kerja mereka juga—terutama cerita-cerita lucu atau unik soal dinamika kantor.

https://www.youtube.com/watch?v=LHXNFg0GXK0

In Her View | Episode 8 - Intergenerational Work Ethic

Comments

Popular posts from this blog

KUPAS TUNTAS ETERNEL THREE

KUPAS TUNTAS PURIFI THREE

THREE Mr. Les Brown - Christine Peterson and Samson Li