PROF SASTIA DAN PROF TIM [7/6/2025] AKAR PENDIDIKAN INDONESIA MAJU
Webinar Bright Squad
Leader: Sastia Pramaputri
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Teman-teman semua,
Hari ini saya merasa sangat bersyukur bisa menyambut kalian di acara yang sangat istimewa. Sebenarnya webinar ini tidak direncanakan jauh-jauh hari. Tapi siang tadi, saya berkesempatan makan siang dengan seseorang yang menurut saya kisah hidupnya terlalu berharga untuk tidak dibagikan ke lebih banyak orang.
Beliau adalah Professor Tim Pasang dari Western Michigan University, Amerika Serikat.
Banyak dari kita—terutama yang sedang berada di awal perjalanan hidup, baik sebagai pelajar, mahasiswa, atau profesional muda—perlu mendengar kisah-kisah nyata seperti yang akan disampaikan Prof. Tim. Kisah ini bukan hanya soal prestasi akademik atau jabatan tinggi, tapi tentang daya juang. Tentang bagaimana seseorang bisa bertahan, bertumbuh, dan pada akhirnya memberi dampak besar, meski berasal dari keterbatasan.
Perkenalan Singkat: Siapa Saya dan Apa Itu Bright Squad
Nama saya Sastia Pramaputri. Saya adalah seorang ilmuwan diaspora asal Indonesia yang saat ini berdomisili di Osaka, Jepang. Pada tahun 2023, saya mendirikan sebuah komunitas bernama Bright Squad, sebagai bentuk kepedulian saya terhadap masa depan Indonesia—khususnya dalam membangun kualitas sumber daya manusianya.
Konsep utama kami adalah Proactive Wellness. Bahwa menjadi sehat tidak cukup hanya dengan tidak sakit. Kita perlu membangun kesehatan yang menyeluruh, dimulai dari pikiran yang jernih, hati yang tulus, tubuh yang kuat, dan relasi yang sehat.
Saya percaya bahwa perubahan besar hanya bisa dimulai dari perubahan kecil—dari dalam diri, dari rumah, dari komunitas.
Mengapa Bright Squad Ada?
Komunitas ini lahir dari kesadaran:
Jika Indonesia ingin berubah, kita semua harus mengambil bagian. Dan perubahan itu tidak selalu harus dimulai dari sistem besar.
Kita bisa mulai dari hal paling dasar: keluarga.
Sebab, seorang anak tidak akan bisa berkembang optimal jika sejak kecil kekurangan nutrisi.
Ia tidak akan bisa fokus belajar jika lingkungan rumahnya penuh konflik.
Ia tidak akan bisa bersaing secara global jika tidak punya sosok dewasa yang membimbing dengan kasih dan disiplin.
Jadi, kalau teman-teman berpikir bahwa pendidikan hanya tanggung jawab guru atau pemerintah—mohon maaf, itu keliru. Pendidikan pertama dimulai dari rumah.
Para ibu, para ayah, para kakak, dan siapapun yang menjadi bagian dari kehidupan seorang anak—kita semua adalah pendidik. Ketika orang tua mampu menjaga fisik dan mentalnya, maka mereka akan mampu menciptakan generasi penerus yang berdaya, peduli, dan tangguh.
Itulah kenapa Bright Squad menekankan tiga nilai inti:
-
Empowerment – Memberdayakan diri sendiri dan orang lain.
-
Education – Menjadikan ilmu sebagai cahaya untuk menerangi jalan hidup.
-
Teamwork – Karena perubahan tidak bisa dilakukan sendirian.
Bright Squad adalah ruang kolaborasi, bukan tempat eksklusif. Kami terbuka untuk siapa saja—tanpa memandang usia, profesi, gender, atau domisili.
Menyambut Prof. Tim: Kisah yang Perlu Kita Dengar
Dan hari ini, saya sangat bahagia karena Prof. Tim Pasang bersedia meluangkan waktunya untuk berbagi. Anak-anak saya memanggil beliau dengan sebutan Uncle Tim—karena selain cerdas, beliau juga sangat hangat dan membumi.
Dalam perbincangan siang tadi, beliau mengatakan satu hal yang menempel di hati saya:
"Sebenarnya saya tidak pernah benar-benar tahu bahwa saya bisa sampai di titik ini. Tapi saya selalu percaya satu hal: kalau kita terus belajar, terus bergerak, dan tidak menyerah, maka pintu akan terbuka, satu demi satu."
Jadi teman-teman, tanpa berpanjang-panjang lagi, mari kita sambut tamu kehormatan kita—Professor Tim Pasang—untuk membagikan kisah hidupnya: dari masa kecil yang penuh keterbatasan, hingga dipercaya mengajar dan meneliti di universitas ternama dunia.
Semoga apa yang kita dengar hari ini bisa menjadi api kecil di hati kita semua, untuk terus melangkah dan menyalakan cahaya harapan di sekitar kita.
Terima kasih.
KISAH MASA KECIL PROF. TIM PASANG
PROF. TIM:
Saya lahir di sebuah desa kecil di Sulawesi Tenggara. Dulu belum ada listrik, jalan pun belum beraspal. Kalau hujan, jalan jadi lumpur, dan untuk pergi ke sekolah kami harus jalan kaki beberapa kilometer. Rumah saya berdinding bambu dan beratap rumbia. Tapi walau sederhana, orang tua saya menanamkan satu nilai penting: pendidikan adalah jalan keluar dari kemiskinan.
Ayah saya hanya lulusan SD, ibu saya juga tidak tamat SMP. Tapi mereka sangat tekun bekerja agar anak-anaknya bisa sekolah. Kami hidup seadanya—saya ingat harus membantu ibu menumbuk padi atau menjual pisang ke pasar sejak masih kecil. Tapi saya tidak pernah merasa itu penderitaan. Saya justru merasa, ini latihan kehidupan.
Ketika masuk SMP, saya harus tinggal di rumah saudara karena sekolah terlalu jauh dari desa. Di masa itulah saya belajar mandiri. Saya belajar dengan lampu minyak, dan buku hanya sedikit. Tapi saya suka belajar. Saya suka fisika. Ketika guru menjelaskan tentang logam, arus listrik, dan gaya, saya merasa itu seperti sulap—dan saya ingin tahu lebih banyak.
Saya sadar bahwa saya tidak bisa mengandalkan keberuntungan. Tapi saya percaya: kalau saya kerja keras, pasti ada jalan. Dan benar, dari desa kecil itulah saya akhirnya bisa melanjutkan ke STM, lalu kuliah, lalu bekerja di IPTN. Semua proses itu tidak instan, dan saya sempat gagal berkali-kali.
Misalnya, saya pernah ditolak ketika mencoba ikut program beasiswa pertama kali. Tapi saya belajar dari kesalahan, saya perbaiki proposal, saya cari tahu kelemahan saya, dan saya coba lagi. Dan saya selalu percaya—asal kita punya niat dan komitmen, Tuhan akan buka jalan.
Saya tidak pernah bayangkan akan ke Australia, Jepang, Amerika, atau berdiri di hadapan orang-orang hebat seperti sekarang. Tapi kalau saya bisa, teman-teman juga bisa. Karena saya tidak punya sesuatu yang istimewa—saya hanya terus belajar, terus mencoba, dan tidak takut gagal.
Kisah Prof. Tim menunjukkan bahwa kerja keras dan mindset yang tepat dapat mengubah arah hidup, bahkan dari latar belakang yang sangat sederhana.
Kisah Inspiratif Pengalaman Hidup Prof. Tim
Prof. Tim memulai cerita dari masa kecilnya yang penuh tantangan. Saat masih sangat kecil, keluarganya merantau ke Papua menggunakan kapal kecil yang harus melewati gelombang dan berbagai pulau di timur Indonesia sebelum tiba di Biak. Namun, tantangan sesungguhnya baru dimulai ketika orang tuanya ditugaskan sebagai guru di wilayah pedalaman yang terpencil dan rawan gangguan keamanan.
Di sana, Prof. Tim kecil ikut sekolah lebih awal dari anak-anak lain, karena ikut orang tuanya ke sekolah setiap hari. Kehidupan mereka sederhana dan penuh keterbatasan—makanan diperoleh dari hasil kebun dan alam sekitar, mandi di sungai, dan ketegangan dari kelompok bersenjata yang kadang mengancam keselamatan keluarga.
Suatu malam mencekam, rumah mereka diserang oleh kelompok bersenjata, yang akhirnya memaksa mereka meninggalkan tempat itu dan pindah ke kota. Namun, hidup di kota pun tidak mudah. Tanpa pekerjaan dan tabungan, mereka sempat tinggal di sebuah toilet umum yang sudah tidak terpakai, yang dijadikan tempat tinggal selama hampir setahun.
Prof. Tim kecil saat itu duduk di kelas 5 SD. Beruntung, suatu hari anak seorang pejabat daerah datang belajar membaca bersama ayahnya yang juga guru. Melalui perhatian pejabat tersebut, keluarganya akhirnya mendapat tempat tinggal yang lebih layak di sebuah gudang lama milik DPU yang diperbaiki dan menjadi rumah mereka selama enam tahun sampai Prof. Tim lulus SMA.
Meskipun hidup masih penuh kesulitan, Prof. Tim berusaha membantu keluarga dengan berjualan es mambo saat SMP dan terus berjuang untuk pendidikan. Ia sempat diterima di beberapa perguruan tinggi termasuk kedokteran, namun terbentur biaya dan akhirnya masuk Akademi Industri Logam milik Pindad.
Dalam perjalanan akademiknya, bahasa Inggris menjadi tantangan besar, namun dengan belajar mandiri, ia berhasil menguasainya. Setelah menempuh studi S3 di Australia, Prof. Tim mendapat tawaran kerja yang bagus di luar negeri, namun memilih kembali ke Indonesia untuk berkontribusi membangun bangsa.
Meski hidup tetap penuh perjuangan dengan gaji kecil dan harus tinggal terpisah dari keluarga, ia terus melangkah hingga akhirnya menerima pekerjaan di Singapura. Seluruh proses itu membuktikan bahwa dengan niat kuat dan kerja keras, berbagai kesulitan dapat dilewati.
Kisah ini mengajarkan kita bahwa kesulitan dan keterbatasan bukan halangan untuk meraih mimpi. Yang terpenting adalah mindset, ketekunan, dan keberanian mengambil kesempatan meski jalan terasa berat.
Kisah Inspiratif & Refleksi: Belajar dari Prof. Tim tentang Mindset dan Keteguhan Hati
Kadang, cara orang memberi semangat tidak selalu tepat. Mungkin niatnya baik, tapi penyampaiannya bisa menyakitkan. Dulu, kata-kata kasar seperti “bodoh sekali” atau hinaan dianggap biasa, bahkan dalam lingkungan belajar. Prof. Tim sendiri pernah mengalami hal itu. Saat bimbingan tes, ia diolok-olok karena tidak bisa menjawab soal efek Doppler, hingga ada yang berkata, "Mau jadi apa? Jadi tukang becak saja sana." Meski saat itu dianggap lucu, komentar seperti itu bisa meninggalkan luka dalam dan jadi hambatan mental.
Banyak dari kita pernah merasakan hal serupa. Kata-kata negatif, jika terlalu diresapi, bisa membentuk trauma dan membuat seseorang merasa tidak mampu. Padahal, kegagalan dalam satu bidang bukan berarti gagal dalam hidup. Penolakan bukanlah penilaian mutlak terhadap diri kita, hanya terhadap situasi atau karya tertentu.
Banyak orang, terutama saat remaja, terlalu mudah menyerah. Ditolak sekali saja dalam pacaran, rasanya dunia runtuh. Padahal, masih banyak kesempatan lain. Jangan biarkan satu kegagalan membuat kita berhenti berjuang.
Prof. Tim mengingatkan bahwa pola pikir berkembang (growth mindset) dan mentalitas kelimpahan (abundance mindset) adalah kunci untuk bangkit dari kesulitan. Dari masa kecil yang penuh perjuangan, hidupnya berubah drastis karena ia terus berusaha dan tidak menyerah. Kini, kesuksesan beliau membuka peluang hidup yang lebih baik bagi generasi keturunannya yang belajar di berbagai negara.
Prof. Tim sendiri awalnya tidak punya tujuan hidup yang jelas sampai memasuki akademi industri logam. Ia hanya ingin membahagiakan orang tua yang sudah berjuang keras. Saat mendapat beasiswa penuh, kabar itu membuat ibu beliau menangis bahagia. Itulah titik balik yang memberi semangat untuk terus maju, belajar, dan memutus rantai kemiskinan keluarga.
Cerita beliau mengajarkan kita bahwa memiliki tujuan hidup yang kuat dan niat yang teguh adalah modal utama untuk menghadapi rintangan. Dengan semangat belajar dan percaya pada diri sendiri, peluang dan kesuksesan akan terbuka.
Kisah Inspiratif: Perjalanan Hidup Pak Tim dari Hutan Papua hingga Dunia Akademik Internasional
Saat saya masih kecil, keluarga kami merantau ke Papua dengan kapal kecil. Perjalanan panjang dan penuh gelombang itu membawa kami ke Biak, lalu ke sebuah wilayah pedalaman yang terpencil dan nyaris terisolasi. Orang tua saya ditempatkan sebagai tenaga pendidik di sana, mengajar di tengah hutan di mana kendaraan lewat hanya satu atau dua hari sekali, dan keamanan pun tidak selalu terjamin karena adanya kelompok bersenjata.
Saya ikut orang tua ke sekolah setiap hari. Meski belum bisa membaca, saya sudah masuk kelas dan ikut belajar lebih awal dari anak-anak lain. Hidup kami sangat sederhana. Makanan kami andalkan dari kebun atau hasil berburu, mandi di sungai, dan tinggal di rumah panggung yang sering diserang kelompok bersenjata. Suatu malam yang mencekam, rumah kami diserang, dan akhirnya kami terpaksa pindah ke kota demi keselamatan.
Di kota, hidup kami tidak langsung membaik. Kami sempat tinggal hampir setahun di toilet umum yang sudah tidak dipakai, berusaha bertahan dengan keterbatasan. Tapi sebuah titik cerah datang saat anak seorang pejabat daerah datang belajar membaca ke rumah kami. Dari situ, kehidupan kami mulai berangsur berubah.
Prof SASTIA bertanya“Dari semua kesulitan itu, mengapa Bapak tidak pernah menyerah?” Ia menjawab bahwa hidupnya memang sudah penuh perjuangan sejak kecil, tapi dari situ karakter dan ketahanan terbentuk. Ia belajar bahwa ditolak, diremehkan, bahkan diusir bukan soal harga diri, melainkan proses untuk tumbuh dan berkembang.
Pak Tim mengingatkan bahwa orang yang punya growth mindset melihat kegagalan sebagai proses belajar, bukan identitas diri. Sebaliknya, orang dengan fixed mindset mudah menyerah dan merasa gagal adalah dirinya sendiri. Ia juga mencontohkan tokoh besar seperti Bill Gates dan Einstein yang pernah gagal dan ditolak, tapi tetap maju tanpa baper.
Suatu hari, saat pertama kali sekolah di kota, Pak Tim mendapat nilai nol untuk ujian matematika, bahkan dihina guru. Tapi ia tidak menyerah, dan pada akhirnya lulus dengan prestasi juara tiga sekolah. Ia belajar menjadi dirinya sendiri dan percaya bahwa waktunya akan tiba.
Selain kisah masa kecil, Pak Tim juga menceritakan bagaimana ia berani pindah dari zona nyaman, dari Singapura ke New Zealand, lalu ke Oregon dan Michigan, meski harus memulai dari bawah lagi. Ia menegaskan bahwa kredibilitas dan kerja keras membawa kesempatan dan kepercayaan orang lain. Bahkan perusahaan besar seperti Boeing mempercayakan penyaluran mahasiswanya kepadanya.
Pesan utama dari kisah Pak Tim adalah:
Apa yang kita tanam—kejujuran, kerja keras, dan niat baik—akan kembali kepada kita dalam bentuk kesempatan, rezeki, dan kebahagiaan. Jangan takut gagal atau ditolak, karena itu bagian dari proses tumbuh. Jangan biarkan ego atau rasa malu menghalangi langkah kita maju.
CERITA LENGKAP DARI YOUTUBE https://youtu.be/JG2b3-Tr9k8?si=XjZynqMpKlf_b0mY
Sesi Inti
Tanpa berpanjang-panjang, saya ingin langsung memperkenalkan
narasumber kita hari ini.
Selamat datang, Prof. Tim, di webinar Bright Squad.
Selamat sore dari kami yang saat ini sedang sama-sama berada di Jepang.
Selamat sore, Bu Sastia, dan terima kasih telah mengundang
saya ke acara ini.
Sudah ada sekitar 60 peserta yang bergabung [SAMPAI DENGAN SELESAI LEBIH DARI 100 orang], dan semoga
jumlah ini terus bertambah. Hari ini adalah kali kedua saya bertemu Pak Tim
karena beliau merupakan seorang guru besar sekaligus chair di Western Michigan
University. Bidang beliau adalah engineering, dan beliau juga visiting
professor di Osaka University. Setiap tahun beliau berkunjung ke kampus kami,
dan ini adalah kali kedua kami bertemu dan berbincang.
Saya menonjolkan bahwa Pak Tim memiliki keahlian yang sangat
spesifik dan hanya dimiliki sedikit orang di dunia sehingga beliau sering
diundang universitas‑universitas top untuk mengajar. Mungkin Pak Tim bisa
sedikit bercerita tentang keahlian tersebut sehingga banyak institusi berebut
untuk mengundang beliau—karier beliau berpindah karena direkrut, bukan karena
melamar.
PROF TIM
Baik. Latar belakang saya adalah material untuk pesawat
terbang, khususnya titanium. Saat di PTDI (dulu IPTN) saya meneliti material
ini. Kemudian saya melanjutkan studi di Australia. Perlu saya tekankan, saya
bukan berasal dari keluarga yang mampu. Saat di PTDI saya staf biasa, tetapi
saya memiliki mimpi untuk melanjutkan sekolah. Setiap kali saya melihat
pengumuman beasiswa—misalnya ke Jerman (DAAD) atau TU Delft—baru ingin melamar,
ternyata orang‑orangnya sudah berangkat. Saat itu zaman Orde Baru, banyak
proses yang dilakukan di belakang layar.
Akhirnya saya mencari jalan sendiri. Saya menghubungi profesor di Australia; beliau datang dan saya menyampaikan keinginan untuk sekolah. Beliau mencarikan beasiswa namun belum mendapatkannya juga. Dia lalu berkata, "Coba hubungi Kedutaan Australia." Cara seperti ini bisa kita gunakan: kedutaan, entah Australia, Amerika, atau Jerman, biasanya menjadi kontak pertama karena informasinya terbuka untuk semua. Jika kita melalui kantor atau dinas di Indonesia, misalnya Dikti, prosesnya kerap sudah ditentukan dari awal, dan karena itu informasinya...
Kadang informasi itu tidak selalu terbuka. Sering kali sudah
disaring terlebih dahulu, sehingga tidak semua orang bisa mengaksesnya secara
utuh. Saya tidak bermaksud menilai negatif, hanya menggambarkan bahwa kadang
kita sulit mendapatkan informasi yang sesungguhnya karena sudah mengalami
penyaringan.
Namun, ketika saya datang ke kedutaan, informasi biasanya
dibuka untuk umum. Di situlah saya mengetahui tentang beasiswa dari AID. Saya
pun mengikuti seleksinya, bersama sekitar 5.000 peserta lainnya. Dari jumlah
itu, hanya sekitar 200 orang yang terpilih, dan saya termasuk di dalamnya.
Saya kemudian melanjutkan studi di bidang Aerospace
Material Engineering, dengan fokus khusus pada titanium. Pada masa itu,
titanium masih tergolong material baru, terutama dalam industri pesawat
terbang. Boeing, misalnya, sangat ingin menggantikan baja—yang mudah
berkarat—dengan titanium, yang lebih tahan dan ringan.
Namun, saat itu belum ada riset mendalam mengenai proses
pengelasan titanium yang baru. Saya meminta materialnya dan mulai meneliti.
Beberapa hasil riset saya kemudian dipublikasikan dalam bentuk makalah ilmiah.
Dari situ, saya diundang untuk presentasi langsung ke Boeing.
Undangan demi undangan mulai berdatangan, dari universitas
di Jerman, Inggris, Israel, hingga Lihai University. Saya bahkan pernah
berdiskusi langsung dengan pemenang Nobel dari Israel, Dan Shechtman, yang juga
ahli material.
Data riset saya ternyata digunakan secara luas oleh Boeing.
Tak lama kemudian, Jepang pun mengundang saya untuk mengajukan proposal ke Japan
Society for the Promotion of Science (JSPS). Osaka University mengundang
saya selama tiga bulan untuk menggunakan peralatan mereka.
Mereka meminta saya meneliti penggunaan teknologi untuk
berbagai material, mulai dari titanium, aluminium, magnesium, hingga
tembaga—yang sekarang sangat penting dalam pengembangan electric vehicle,
terutama untuk penyimpanan energi.
Saya tidak mengklaim sebagai ahli, tapi saya tahu sedikit,
dan pengetahuan kecil itu membuka banyak pintu. Jepang, misalnya, sangat
selektif dalam memilih orang asing yang mereka izinkan menggunakan teknologi
mereka, terutama teknologi laser yang sangat maju. Saya termasuk yang beruntung
karena dipercaya berulang kali untuk datang dan menggunakan alat mereka.
Intinya, memang ada keahlian spesifik yang saya tekuni.
Ketika saya masih di Indonesia, saya tidak mendapatkan informasi itu secara
langsung, saya harus mencarinya sendiri. Tapi saya percaya bahwa semua
pengalaman hidup saya sejak kecil telah mempersiapkan saya untuk siap ketika
kesempatan datang.
REFLEKSI
Itu hal yang sering kali tidak disadari banyak orang—bahwa
ada dua jenis kondisi: poor dan broke. Poor adalah soal
pola pikir, bukan sekadar tidak punya uang. Sedangkan broke adalah
kondisi sementara, ketika seseorang sedang tidak punya uang, tapi bukan berarti
mereka tidak punya semangat atau pola pikir yang sehat.
Orang dengan growth mindset, orang yang selalu ingin
belajar dan berkembang, bisa bangkit dari keterpurukan. Sementara ada juga
orang yang punya banyak privilese, tapi merasa paling menderita karena tidak
bisa melihat kesempatan di sekitarnya.
Sering kali saya ditanya, "Apa Ibu pantas bicara soal
privilege?" Karena saya lahir di Jakarta Selatan dan bisa berbahasa
Inggris. Mungkin tidak semua orang bisa melihat perjuangan di balik itu. Tapi
saya bekerja sangat keras untuk sampai ke titik ini.
Itulah sebabnya saya ingin menghadirkan sosok seperti Pak
Tim—yang menurut saya sangat merepresentasikan apa yang saya maksud. Beliau
sekarang adalah profesor diaspora yang diakui dunia, sering diundang ke
berbagai negara karena kepakarannya. Tapi kita tahu, jarang sekali kita bisa
langsung menghubungkan keadaan kita saat ini dengan perjalanan masa lalu kita.
Untuk itu, saya ingin meminta Pak Tim berbagi sedikit cerita
tentang masa kecilnya. Di mana beliau lahir, tumbuh, dan sekolah?
PENGALAMAN HIDUP PROF TIM
Saat itu usia saya masih sangat kecil ketika kami sekeluarga
merantau ke Papua dengan kapal kecil. Perjalanan lautnya cukup panjang, penuh
gelombang dan harus melewati berbagai pulau di kawasan timur Indonesia sebelum
akhirnya tiba di Biak, sebuah pulau kecil di bagian utara Papua.
Karena kedua orang tua saya tidak bisa langsung bekerja
sebagai guru di kota—mungkin karena alasan administratif atau keamanan—mereka
bersedia ditempatkan di pedalaman. Mereka akhirnya mendapat tugas di sebuah
wilayah terpencil di hutan, tempat di mana kendaraan hanya melintas satu atau
dua hari sekali. Wilayah itu pun tidak sepenuhnya aman, karena saat itu masih
sering terjadi gangguan keamanan dari kelompok bersenjata.
Orang tua saya bukan membangun sekolah dari nol, tapi
mengisi posisi sebagai tenaga pendidik yang memang sangat dibutuhkan di daerah
itu. Ayah saya menjadi kepala sekolah, dan ibu saya mengajar. Karena saya masih
terlalu kecil untuk ditinggal sendiri di rumah, saya ikut ke sekolah setiap
hari. Lama-lama saya pun diminta ikut belajar di kelas, mungkin agar tidak
mengganggu suasana belajar murid-murid lain. Itulah awal mula saya masuk
sekolah lebih awal dibanding anak-anak lain.
Meski saya belum bisa membaca saat itu, saya tetap naik
kelas tiap tahun, mungkin karena status anak guru. Saya ingat betul bagaimana
kehidupan kami waktu itu—terisolasi, penuh keterbatasan. Makanan pun tidak
selalu tersedia, jadi kami terbiasa mengandalkan hasil kebun atau mencari di
alam seperti ular atau biawak yang biasa dimakan. Sepulang sekolah kami mandi
di sungai, dan hidup benar-benar serba sederhana.
Pernah suatu hari, saat mandi di sungai, kakak saya melihat
sekelompok orang bersenjata di seberang. Sejak saat itu, mulai terasa bahwa ada
ketegangan dari kelompok lokal yang merasa tidak senang dengan keberadaan
pendatang sebagai guru. Mereka ingin mengambil alih posisi itu.
Suatu malam yang mencekam, rumah kami—rumah panggung dengan
lantai dan dinding dari papan—diserang oleh sekelompok orang bersenjata. Mereka
menusuk-nusuk lantai dan dinding rumah dengan tombak dan parang. Itu bukan kali
pertama kami merasa terancam, tapi malam itu benar-benar membuat kami
sekeluarga ketakutan. Akhirnya, setelah ada ancaman serius agar kami segera
pergi dari kampung itu, kami pun meninggalkan tempat tersebut dan pindah ke
kota.
Namun, kehidupan di kota pun tidak langsung menjadi lebih
baik. Orang tua saya belum punya pekerjaan, dan kami tidak memiliki tabungan.
Kami sempat menumpang di rumah keluarga, tapi karena kami berlima, tentu tidak
enak tinggal terlalu lama. Hingga suatu hari, ibu melihat sebuah toilet umum
yang sudah tidak terpakai di kompleks perumahan dekat rumah sakit. Ibu kemudian
meminta izin kepada kepala kompleks untuk tinggal di sana. Toilet itu sudah
tidak digunakan karena semua rumah sudah memiliki toilet sendiri. Kami menutup
lubang-lubang WC dengan papan dan tripleks, lalu tinggal di sana selama hampir
setahun.
Pada masa itu saya duduk di kelas 5 SD. Suatu hari, anak
dari seorang pejabat daerah datang ke rumah kami untuk belajar membaca,
ditemani ayahnya sendiri. Dari situlah, perlahan kehidupan kami mulai berubah.
Waktu itu Pak Bupati bertanya, “Ibu tinggal di mana, Bu?”
Ibu saya menjawab bahwa kami tinggal di sana. Pak Bupati kaget dan bilang, “Itu
kan WC, Bu. Kok bisa tinggal di situ?”
Ibu saya jelaskan bahwa kami memang tidak punya pilihan
lain. Dengan tiga anak dan tanpa pekerjaan tetap, kami terpaksa tinggal di WC
sekolah. Tapi kemudian ibu mendapat pekerjaan sebagai penjaga sekolah, jadi
selama saya SD, kami menetap di sana sekitar satu tahun.
Melihat kondisi itu, Pak Bupati bilang akan mencarikan
tempat yang lebih layak. Dekat sekolah, ada sebuah gudang lama milik DPU yang
sudah tidak terpakai—kacanya pecah, kondisinya buruk. Pak Bupati tawarkan untuk
memperbaikinya agar kami bisa tinggal di situ. Akhirnya kami tinggal di gudang
itu sampai saya lulus SMA, sekitar enam tahun. Walau sudah di kota, lokasinya
masih di pinggiran dan cukup terpencil.
Kondisi hidup kami tetap sulit. Waktu itu adik saya sudah
bertambah, jadi kami enam orang anak. Untuk makan pun pas-pasan—sering kali
satu bungkus Indomie dibagi untuk enam atau tujuh orang. Ibu pintar
akal-akalan, ditambah cabai dan telur agar terasa lebih enak.
Saat SMP, saya bantu keluarga dengan jualan es mambo isi
kacang hijau di acara pertandingan bola. Itu jadi cara saya bantu keuangan
keluarga.
Kakak saya yang pertama cukup menonjol secara akademik. Ia
sempat jadi pelajar teladan tingkat kabupaten, lalu provinsi, dan akhirnya
dikirim ke Jakarta untuk sekolah di SMA Teladan (yang kini dikenal sebagai SMA
70). Saya sendiri tidak sepintar dia—lebih sering main, jadi tetap sekolah di
Biak sampai lulus SMA.
Setelah lulus, saya sempat ke Sulawesi untuk ujian masuk
kedokteran dan diterima di Universitas Sam Ratulangi, tapi tidak disetujui
keluarga karena biaya. Saya lalu ke Jakarta, tinggal numpang di rumah tante,
dan tidak kuliah selama satu tahun. Saya ikut bimbel, ikut ujian, sempat
diterima di beberapa tempat termasuk kedokteran, tapi tetap terkendala biaya.
Akhirnya saya masuk ke Akademi Industri Logam milik Pindad.
Dosen-dosennya sebagian besar dari ITB, termasuk ketua jurusannya. Saya kuliah
tiga tahun di sana. Setelah lulus, dosen itu—yang awalnya bahkan menolak
membimbing skripsi saya—justru yang membawa saya ke PTDI (dulu IPTN).
Bahasa Inggris saya waktu SMA merah terus. Teman-teman saya
nilainya bagus, ternyata mereka ikut les. Saya tidak mampu ikut les, jadi
belajar sendiri. Semua serba terbatas, tapi saya tetap usaha sendiri, belajar
sendiri, cari terjemahan, dan perlahan mulai menguasai.
Setelah menyelesaikan studi S3 di Australia, saya sempat
ditawari kerja di sana, di departemen pertahanan, tapi saya tolak karena ingin
pulang dan membangun Indonesia. Ketika saya kembali ke PTDI, saya satu-satunya
yang punya gelar S3 selain Pak Ilham Habibie. Tapi gaji saat itu sangat
kecil—hanya 1 juta rupiah. Saya harus meninggalkan istri dan dua anak di Bogor
dan tinggal ngekos di Bandung. Hidup tetap sulit, tapi saya terus melangkah.
Akhirnya saya memutuskan mengundurkan diri dari PTDI dan
menerima tawaran kerja ke Singapura. Semua langkah terasa berat—mau cari
beasiswa susah, cari pembimbing susah, tapi saya tidak pernah berhenti. Saya
percaya, kalau kita punya niat kuat, kesulitan apa pun bisa dilewati.
REFLEKSI
Kadang cara orang memberi semangat itu tidak selalu tepat.
Maksudnya mungkin baik, sebagai pemicu agar kita semangat, tapi cara
menyampaikannya bisa keliru. Dulu, hal-hal yang sekarang dianggap sebagai
bentuk pelecehan verbal atau bahkan bisa dilaporkan secara hukum, dulu dianggap
biasa. Misalnya, guru yang bilang muridnya "bodoh sekali", atau
mengucapkan kata-kata kasar. Itu dulu dianggap normal.
Saya sendiri pernah mengalami. Waktu ikut bimbingan tes,
saya diolok-olok karena tidak bisa jawab soal efek Doppler. Katanya,
"Rumus efek Doppler aja enggak bisa, mau jadi apa? Jadi tukang becak aja
sana." Tapi waktu itu kita anggap lucu saja, ketawa-ketawa, enggak terlalu
dipikirin. Buat dia mungkin cuma ngomong asal saja, tapi buat yang mendengar
bisa jadi meninggalkan luka yang dalam.
Dan banyak orang mengalami hal yang sama. Mendapat komentar
negatif yang sebenarnya kalau terlalu dimasukkan ke hati bisa menimbulkan
trauma, bahkan menjadi hambatan mental sampai sekarang. Misalnya, ada yang
terus merasa tidak mampu karena dulu pernah dikatai bodoh. Padahal, komentar
orang itu seharusnya tidak menjadi realitas hidup kita.
Kegagalan dalam satu hal bukan berarti kita gagal dalam
hidup. Penolakan yang kita alami, bisa jadi hanya pada karya atau situasi saat
itu, bukan kita sebagai pribadi. Tapi kadang orang tidak bisa membedakan itu.
Akibatnya, satu kegagalan seolah berarti seluruh hidupnya gagal.
Banyak yang seperti itu, apalagi di masa remaja. Misalnya
waktu masa-masa pacaran dulu, ditolak sekali saja rasanya dunia runtuh.
Padahal, masih banyak kesempatan lain. Jangan sampai karena satu penolakan,
seseorang merasa hidupnya selesai.
Kalau dikaitkan dengan bangsa kita, kalau kita mudah
menyerah, ya selesai sudah. Padahal selalu ada harapan, selama kita mau
berusaha dan bekerja dengan jujur.
Biasanya, seseorang yang punya pola pikir berkembang (growth
mindset) dan mentalitas kelimpahan (abundance mindset), seperti Bapak, berasal
dari latar belakang sulit tapi bisa bangkit. Kesuksesan Bapak bahkan bisa
mengubah nasib seluruh generasi keturunan. Anak-anak Bapak sekarang menempuh
pendidikan tinggi di berbagai belahan dunia, dari Inggris, Oregon, sampai
Islandia. Mereka tidak perlu merasakan hidup di hutan atau tidur di toilet
seperti Bapak dulu.
Itu artinya Bapak mengambil kendali atas hidup Bapak
sendiri. Dan hasilnya bukan hanya sukses secara pribadi, tapi membuka peluang
hidup yang lebih baik untuk anak cucu.
Saya penasaran, biasanya orang yang mampu bertahan dan terus
melangkah itu punya satu tujuan hidup yang kuat. Sebuah harapan yang dipegang
terus menerus, yang membuat mereka tidak menyerah meski berkali-kali gagal atau
ditolak. Apakah Bapak juga punya tujuan seperti itu sejak muda?
PROF TIM
Waktu sekolah dulu, sampai SMA, sebenarnya saya belum punya
tujuan yang jelas. Saya sekolah saja, ya berharap bisa jadi sesuatu suatu hari
nanti. Tapi titik baliknya terjadi saat saya masuk akademi industri logam. Dari
sana saya mulai merasa, hidup ini harus berubah.
Dulu saya tidak pernah ingin jadi anak yang populer di
sekolah. Tapi begitu kuliah, saya mulai berpikir, "Kalau kakak saya bisa,
saya juga pasti bisa." Dan saya mencoba lebih serius. Hasilnya, saya punya
IP tertinggi, bukan hanya di angkatan saya, tapi juga dibanding jurusan lain.
Dari situ saya mulai percaya diri.
Ketika saya ditawari beasiswa penuh, saya langsung memberi
kabar ke ibu saya. Waktu itu masih zamannya pakai wesel, belum ada telepon.
Saya tulis surat ke ibu, dan saya tahu dari surat balasannya bahwa beliau
menangis saat membaca kabar itu. Ada bekas air mata di kertasnya. Dari situlah
saya merasa, saya harus membuat orang tua saya bahagia. Hidup kami sudah susah,
masa saya tega membiarkan mereka tetap susah?
Itu jadi salah satu tujuan hidup saya — membahagiakan orang
tua saya. Lalu ketika saya mulai bekerja, saya punya tujuan baru: memutus
rantai kemiskinan di keluarga saya.
Saya terus belajar, ikut ujian beasiswa ke luar negeri. Dosen saya waktu itu mengenal penguji dari Australia yang menguji saya. Dan dari hasil pembicaraan mereka, saya dapat kabar bahwa saya termasuk yang terbaik. Bahkan sebelum pengumuman resmi keluar, saya sudah diberitahu untuk bersiap-siap berangkat ke Australia.
Saat itu usia saya masih sangat kecil ketika kami sekeluarga
merantau ke Papua dengan kapal kecil. Perjalanan lautnya cukup panjang, penuh
gelombang dan harus melewati berbagai pulau di kawasan timur Indonesia sebelum
akhirnya tiba di Biak, sebuah pulau kecil di bagian utara Papua.
Karena kedua orang tua saya tidak bisa langsung bekerja
sebagai guru di kota—mungkin karena alasan administratif atau keamanan—mereka
bersedia ditempatkan di pedalaman. Mereka akhirnya mendapat tugas di sebuah
wilayah terpencil di hutan, tempat di mana kendaraan hanya melintas satu atau
dua hari sekali. Wilayah itu pun tidak sepenuhnya aman, karena saat itu masih
sering terjadi gangguan keamanan dari kelompok bersenjata.
Orang tua saya bukan membangun sekolah dari nol, tapi
mengisi posisi sebagai tenaga pendidik yang memang sangat dibutuhkan di daerah
itu. Ayah saya menjadi kepala sekolah, dan ibu saya mengajar. Karena saya masih
terlalu kecil untuk ditinggal sendiri di rumah, saya ikut ke sekolah setiap
hari. Lama-lama saya pun diminta ikut belajar di kelas, mungkin agar tidak
mengganggu suasana belajar murid-murid lain. Itulah awal mula saya masuk
sekolah lebih awal dibanding anak-anak lain.
Meski saya belum bisa membaca saat itu, saya tetap naik
kelas tiap tahun, mungkin karena status anak guru. Saya ingat betul bagaimana
kehidupan kami waktu itu—terisolasi, penuh keterbatasan. Makanan pun tidak
selalu tersedia, jadi kami terbiasa mengandalkan hasil kebun atau mencari di
alam seperti ular atau biawak yang biasa dimakan. Sepulang sekolah kami mandi
di sungai, dan hidup benar-benar serba sederhana.
Pernah suatu hari, saat mandi di sungai, kakak saya melihat
sekelompok orang bersenjata di seberang. Sejak saat itu, mulai terasa bahwa ada
ketegangan dari kelompok lokal yang merasa tidak senang dengan keberadaan
pendatang sebagai guru. Mereka ingin mengambil alih posisi itu.
Suatu malam yang mencekam, rumah kami—rumah panggung dengan
lantai dan dinding dari papan—diserang oleh sekelompok orang bersenjata. Mereka
menusuk-nusuk lantai dan dinding rumah dengan tombak dan parang. Itu bukan kali
pertama kami merasa terancam, tapi malam itu benar-benar membuat kami
sekeluarga ketakutan. Akhirnya, setelah ada ancaman serius agar kami segera
pergi dari kampung itu, kami pun meninggalkan tempat tersebut dan pindah ke
kota.
Namun, kehidupan di kota pun tidak langsung menjadi lebih
baik. Orang tua saya belum punya pekerjaan, dan kami tidak memiliki tabungan.
Kami sempat menumpang di rumah keluarga, tapi karena kami berlima, tentu tidak
enak tinggal terlalu lama. Hingga suatu hari, ibu melihat sebuah toilet umum
yang sudah tidak terpakai di kompleks perumahan dekat rumah sakit. Ibu kemudian
meminta izin kepada kepala kompleks untuk tinggal di sana. Toilet itu sudah
tidak digunakan karena semua rumah sudah memiliki toilet sendiri. Kami menutup
lubang-lubang WC dengan papan dan tripleks, lalu tinggal di sana selama hampir
setahun.
Pada masa itu saya duduk di kelas 5 SD. Suatu hari, anak
dari seorang pejabat daerah datang ke rumah kami untuk belajar membaca,
ditemani ayahnya sendiri. Dari situlah, perlahan kehidupan kami mulai berubah.
Banyak orang di luar sana, termasuk teman-teman kita di
Indonesia, mungkin pernah mencoba berkali-kali tapi selalu gagal. Lama-lama
mereka lelah untuk terus berusaha. Harapan yang dulu sempat ada, pelan-pelan
memudar karena kehidupan terus mengecewakan mereka. Pada titik inilah mereka
akhirnya belajar untuk menyerah — kondisi ini yang dikenal sebagai learned
helplessness.
Bisa jadi mereka merasa gagal karena sistem yang
mengecewakan, karena orang tua yang tidak hadir sebagaimana mestinya, atau
karena lingkungan yang tidak mendukung. Kompleks sekali. Tapi hasil akhirnya
sama: kehilangan harapan, kehilangan semangat juang.
Lalu saya bertanya pada Pak Tim, "Dari semua kesulitan
yang pernah Bapak hadapi dalam hidup, mengapa Bapak tidak pernah
menyerah?"
Pak Tim menjawab dengan rendah hati, "Sejak kecil hidup
saya memang sudah susah. Tapi justru dari situ karakter saya terbentuk. Saya
belajar untuk bertahan. Orang tua saya tidak berpendidikan tinggi, tapi mereka
adalah pendidik sejati. Nilai-nilai itulah yang mereka tanamkan pada
kami."
Ia melanjutkan, “Saya sudah terbiasa ditolak, dianggap
remeh, bahkan diusir. Tapi selama tidak secara fisik, saya tidak akan sakit
hati. Karena saya tahu, semua itu bukan soal harga diri saya, tapi tentang
proses saya bertumbuh.”
Bu Sastia menambahkan refleksi menarik, “Pak Tim ini tidak
punya ego yang tinggi, itu yang membuat beliau terus maju. Banyak orang punya
ego dan pride, sehingga ketika mereka gagal, mereka merasa yang ditolak adalah
diri mereka. Padahal hidup ini adalah kompetisi. Selalu ada yang lebih baik.
Kalau gagal, bukan berarti kita gagal sebagai manusia—kita hanya perlu belajar
jadi lebih baik.”
Pak Tim tersenyum dan berkata, “Benar. Kadang orang terlalu
sibuk memikirkan rasa malu, takut ditolak, padahal orang lain sebenarnya tidak
peduli. Mereka tidak akan ingat. Yang membuat kita tertahan adalah diri kita
sendiri—rasa gengsi, harga diri yang rapuh.”
Ia mencontohkan saat berjalan bersama anak-anaknya. “Saya
sering bilang ke anak-anak: ‘Jangan malu minta tolong orang fotokan kita.
Mereka habis itu juga lupa sama kita. Selama kita enggak mempermalukan diri
atau melanggar hukum, don’t worry, just move forward.’”
Bu Sastia menimpali, “Betul. Orang yang punya growth mindset
akan melihat kegagalan sebagai pemicu untuk berkembang. Mereka refleksi,
belajar, lalu maju lagi. Tapi orang yang punya fixed mindset akan tersinggung
dan menyerah, seolah-olah kegagalan itu identitas.”
Pak Tim menambahkan, “Lihat saja tokoh-tokoh besar seperti
Bill Gates, Mark Zuckerberg, bahkan Albert Einstein—mereka juga pernah gagal
dan ditolak. Tapi mereka enggak baper. Mereka belajar dan lanjut.”
Ia pun berbagi pengalaman pribadi, “Saya pernah dihina waktu
kecil. Pindah dari kampung ke kota, hari pertama sekolah langsung ujian
matematika—dan saya dapat nol. Karena saya memang belum pernah belajar materi
itu. Guru saya bahkan ketawa dan bilang, ‘Kamu mau jadi apa?’ Tapi justru dari
situ saya terpacu. Tahun berikutnya saya mulai naik peringkat, dan saat lulus
saya jadi juara tiga sekolah.”
Ia menambahkan, “Saya juga pernah dibandingkan dengan kakak
saya yang teladan. Guru-guru kecewa karena saya dianggap tidak bisa mengikuti
jejaknya. Tapi saya tetap jadi diri saya sendiri. Mungkin saya belum sampai di
titik itu. Bukan karena saya bodoh, tapi karena memang waktunya belum tiba.”
Jadi ini sebenarnya tentang pola pikir—bukan transaksional.
Tapi ketika kita memberi dengan niat tulus, entah bagaimana, kebaikan itu akan
kembali lagi kepada kita dalam bentuk kemudahan, rezeki, atau kebahagiaan.
Kalau kita terus merasa kita tidak punya cukup, kita jadi enggan berbagi. Kita
jadi pelit, menahan rezeki, dan secara tidak sadar, orang lain pun akan menahan
rezekinya untuk kita. Itu semacam energi. Energi yang kita berikan ke dunia,
itu yang akan kembali kepada kita. Begitulah cara dunia ini bekerja.
Lalu ada dua pertanyaan penting. Yang pertama, mengapa saya
tetap memilih untuk pindah—dari New Zealand ke Oregon, lalu ke Michigan—padahal
saya sudah nyaman dan stabil di sana? Umumnya, orang enggan keluar dari zona
nyaman ketika sudah mapan. Yang kedua, bagaimana saya menanamkan nilai-nilai
perjuangan kepada anak-anak saya yang lahir dalam kondisi lebih privilege, agar
mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan dan tetap berjuang?
Untuk pertanyaan pertama, saya ke New Zealand dari posisi
senior konsultan di Singapura. Tapi saya turunkan posisi, mulai lagi dari
postdoc. Waktu itu saya berpikir tidak apa-apa, karena saya masuk ke masyarakat
Barat, dan Singapura itu cukup keras tekanannya. Di New Zealand, saya tiga
tahun jadi postdoc, lalu langsung diangkat jadi dosen senior. Itu terjadi
karena dekan memperhatikan cara saya bekerja dan berkomunikasi. Dua tahun
kemudian, saya jadi wakil ketua jurusan, dan setahun sesudahnya, saat sedang sabatikal
di Amerika, saya ditawari jadi ketua jurusan.
Awalnya saya menolak secara halus karena merasa masih baru.
Tapi dekan meyakinkan saya: "You are the best person." Akhirnya saya
jadi ketua jurusan selama 8 tahun. Memang kehidupan sudah nyaman dan mapan di
New Zealand—tempatnya indah, relatif aman, dekat dengan pantai, dan gaya hidup
outdoor sangat menyenangkan. Tapi biayanya sangat mahal karena negara itu jauh
dari mana-mana.
Kemudian saat pandemi COVID tahun 2020, saya dihubungi oleh
dekan dari Oregon yang mencari ketua jurusan untuk membantu proses akreditasi.
Saya juga heran bagaimana mereka bisa tahu saya. Tapi mereka tahu saya punya
pengalaman. Ketika nama saya diajukan ke presiden universitas di Oregon, sempat
ada penolakan: "Kenapa ambil orang dari New Zealand? Nggak ada orang
Amerika yang bisa?" Tapi akhirnya mereka setuju setelah dekan menjelaskan
bahwa saya yang paling cocok.
Sesampainya di Oregon, saya kaget karena selama empat tahun
mereka tidak pernah mengumpulkan data untuk akreditasi. Padahal itu siklus lima
tahunan. Saya sempat marah, tapi saya tekankan pentingnya akreditasi. Saya
bilang, "Kalau akreditasi gagal, kita tidak akan punya mahasiswa. Minimal
kerjakan bagianmu dengan jujur dan sungguh-sungguh." Akhirnya akreditasi
berhasil. Bahkan orang yang me-review kami mengirim pesan pribadi setelah
pulang: “I think I will enjoy working with you. You are a very honest person.”
Saya juga diminta oleh perusahaan Boeing untuk menyalurkan
mahasiswa ke sana. Saya seleksi sendiri mahasiswa yang layak, dan mereka
diterima bekerja sebagai engineer. Sampai sekarang mereka masih menghubungi
saya dan mengucapkan terima kasih. Bahkan orang HR Boeing bilang, “Tim, can you
send us more students like them?” Karena mereka lihat bagaimana saya bekerja
dan berinteraksi dengan mahasiswa.
Saya tidak bermaksud menyombongkan diri, tapi ini soal
kredibilitas. Kredibilitas itu penting. Orang melihat dari cara kita berbicara,
cara kita bekerja, cara kita menghargai orang lain. Itu yang akan membawa kita
ke tempat-tempat baru. Bahkan ketika saya cuma digaji 9 bulan di Oregon karena
dianggap tidak mengajar di musim panas, Boeing sendiri yang menawarkan, “You
want to come work for us in the summer?” Tapi akhirnya saya pindah ke Michigan
karena mereka menawarkan gaji untuk 12 bulan.
Intinya, apa yang kita tanam, itu yang akan kembali. Kita
tidak tahu siapa yang mendengarkan, siapa yang mengenal siapa. Mungkin hari ini
saya bicara dengan Ibu Sastia, lalu beliau berbagi ke temannya, lalu temannya
lagi. Dunia ini terhubung lewat jaringan. Jadi kalau kita punya sesuatu yang
baik, jujur, dan positif, dunia akan bantu menyebarkannya.
Comments
Post a Comment