TIMES [Emma Grede : Jay Shetty's 5 Habits For Lasting Wellness ]
Ketika kamu mengajarkan tentang wellness—karena kamu sudah punya banyak pengalaman dari coaching dan mewawancarai begitu banyak orang luar biasa di podcast—apa saja hal penting yang harus dilakukan oleh pendengar kami, terutama bagi mereka yang menjalani hidup serba cepat, punya karier besar, atau sedang membangun perusahaan? Apa yang benar-benar tidak boleh diabaikan?
Itu pertanyaan yang luar biasa. Beberapa hal yang akan
saya sebutkan ini juga sudah saya terapkan di dunia korporat, bersama klien
perusahaan saya. Salah satu idenya: jika setiap orang mengambil waktu tiga
menit untuk bernapas di awal pertemuan, itu bisa mengubah segalanya. Hanya tiga
kali napas. Kita seringkali masuk ke rapat berikutnya masih membawa
"bawaan" dari rapat sebelumnya—terutama kalau sebelumnya bikin kesal.
Belum sempat rehat, belum sempat refleksi, tiba-tiba manajermu sudah tanya
macam-macam. Tapi jika kamu berhenti sejenak dan bernapas tiga kali, suasana
menjadi tenang, dan kamu bisa hadir secara utuh di momen itu.
Kembali ke topik non-negotiable, ada lima kebiasaan yang
saya anggap penting untuk para high performer dalam menjaga wellness tingkat
tinggi. Jika kamu melihat para atlet terbaik dunia, musisi top, atau pemimpin
bisnis unggulan, 80–90% dari mereka menjalani lima kebiasaan ini. Bukan hanya
terbukti secara ilmiah, tapi juga sangat praktis.
Saya percaya setiap eksekutif, pemimpin, bahkan calon
pemimpin, adalah seorang atlet. Kita harus mulai memperlakukan tubuh dan
pikiran kita seperti atlet, karena kita menuntut begitu banyak dari keduanya.
Kebiasaan pertama adalah: rasa syukur. Alasannya jadi
nomor satu karena jika kamu tidak bersyukur dengan tempatmu saat ini, sebesar
apa pun pencapaianmu nanti, kamu tetap tidak akan bersyukur. Kalau kamu merasa
iri, minder, atau menghakimi posisi kamu sekarang, perasaan itu akan tetap ada
bahkan ketika kamu sudah "di puncak."
Cara bersyukur yang saya ajarkan bukan
sekadar menulis jurnal. Bukan sekadar "aku bersyukur untuk udara dan
matahari." Itu terlalu umum. Rasa syukur yang benar-benar bekerja harus diungkapkan, spesifik,
dan personal.
Contohnya, jika saya ingin berterima kasih padamu, Emma,
kamu di awal tadi bilang dengan tulus bahwa kamu senang hadir di acaraku. Kamu
spesifik, menyebut bahwa kamu bisa membicarakan hal-hal yang jarang kamu bahas.
Dan kamu personal, kamu bilang aku membuatmu merasa nyaman. Tiga unsur itu:
diungkapkan, spesifik, dan personal.
Sebagian besar dari kita hanya menulis di jurnal, tapi
tidak pernah membagikannya. Padahal riset menunjukkan: jika kamu mengungkapkan
rasa syukur secara spesifik dan personal, rasa cemas atau khawatir tak bisa
eksis bersamaan. Itu tidak mungkin.
Ini momen yang sangat membuka mata buatku. Aku sudah
menulis jurnal rasa syukur sejak zaman Oprah, waktu masih kecil. Aku tahu itu
membuatku merasa lebih baik, tapi aku belum sepenuhnya mengerti alasan
ilmiahnya. Saat itu aku menulis untuk mengalihkan pikiran dan membantu mood-ku.
Tapi satu hal yang kulakukan hingga sekarang adalah menulis pesan ke
orang-orang. Aku sering mengirim email, mengungkapkan bahwa apa yang mereka
lakukan benar-benar berarti buatku dan membuatku merasa dihargai. Aku menulis
itu dengan harapan mereka akan mengulangi sikap positif tersebut dan bisa
menularkannya ke orang lain juga.
Namun,
aku belum pernah mengaitkannya dengan praktik syukur yang ilmiah seperti ini.
Jadi sekarang aku benar-benar paham. Menulis jurnal saja ternyata belum cukup.
Harus dibagikan juga.
Untuk tujuh hari ke depan, saya sarankan kamu lakukan apa
yang dilakukan Emma: kirim pesan rasa syukur—satu ke orang pribadi, satu ke
rekan profesional. Bisa dalam bentuk teks, email, pesan suara, atau video.
Tidak perlu panjang, cukup 30 detik. Ungkapkan rasa syukur secara spesifik dan
personal.
Ini
akan mengubah hubunganmu, perasaanmu, dan membuatmu merasa lebih terhubung.
Kamu tidak akan merasa sendiri di puncak, karena sebenarnya kamu sedang membuka
jalan bagi orang lain juga. Dampaknya luar biasa.
Dan
ini sangat bisa dilakukan di dunia kerja. Mengapa tidak kita terapkan kepada
rekan kerja? Seringkali kita terlalu sibuk, dan ketika ada hal baik terjadi,
kita tidak sempat mengungkapkan pujian. Padahal sesederhana bilang, "Aku
suka banget cara kamu menyelesaikan proyek ini." Itu sudah sangat berarti.
Kebiasaan kedua adalah sesuatu yang saya sebut sebagai insight.
Manusia itu menarik. Saat kita lapar, kita langsung tahu
harus pergi ke kulkas, pesan makanan, atau mencari makan. Kalau kehabisan susu,
kita beli lagi. Tapi anehnya, ketika kita merasa kehabisan inspirasi, motivasi,
atau energi, kita malah panik. Kita langsung merasa ada yang salah dengan diri
kita.
Padahal, kita sebenarnya hanya sedang kehabisan asupan
untuk pikiran—bukan rusak. Itulah mengapa saya percaya penting sekali untuk belajar sesuatu setiap hari.
Masalahnya, banyak dari kita berhenti belajar begitu lulus dari sekolah.
Padahal, cukup satu insight saja per hari bisa sangat mengubah
segalanya. Bisa berupa hal kecil yang dikatakan seseorang, satu kalimat dari
podcast ini, atau bahkan belajar satu kata baru.
Sekecil apa pun, satu pengetahuan baru per hari membuat
otak terus berkembang. Kamu akan merasa sedang bergerak maju, tidak stuck. Dan
yang lebih indah lagi, kamu bisa membagikan wawasan itu ke orang lain.
Podcast seperti ini memberi ruang untuk hal
tersebut—untuk terus belajar dan berbagi. Saya suka sekali ketika kamu menyebut
hal itu. Saya
juga percaya bahwa semakin banyak kamu belajar, semakin besar pula potensi
yang bisa kamu capai. Itu kutipan yang sering saya ulangi, bukan
dari saya, tapi dari Warren Buffett. Saya benar-benar hidup dengan prinsip
itu—menjadi pembelajar seumur hidup. Sejak kecil, saya memang punya
keingintahuan yang besar.
Bagi saya, belajar setiap hari adalah bagian dari personal
growth. Setiap kali saya belajar sesuatu, atau mengenal seseorang lebih
dalam, saya merasa sedang memperluas dunia saya.
Saya suka cara kamu menyebutnya: insight. Itu sederhana
tapi dalam. Jika kita bisa menjadikannya kebiasaan harian—"Hari ini aku
akan belajar satu hal baru, sekecil apa pun itu"—dampaknya bisa luar
biasa.
Bagaimana cara saya melakukannya? Kadang sesederhana
meminta bantuan teknologi—minta satu kata baru dari ChatGPT setiap hari,
misalnya. Bisa juga kata dari bahasa lain. Hal sederhana seperti itu sudah
cukup. Saya pribadi merasa beruntung karena bisa duduk dan mewawancarai
orang-orang hebat, jadi saya belajar banyak dari mereka.
Tapi
siapa pun bisa melakukannya. Insight ada di mana-mana. Kita hanya perlu niat
untuk mencarinya.
Mendengarkan adalah bentuk belajar yang terus
berlangsung. Ada masa dalam hidup saya ketika saya mendengarkan pidato
kelulusan Steve Jobs di Stanford setiap hari selama sembilan bulan.
Bukan hanya karena itu pidato luar biasa—dan memang salah satu pidato terbaik
sepanjang masa—tetapi juga karena isinya begitu dalam dan relevan.
Saya bahkan menempelkan potongan-potongan kutipan dari
pidato itu di cermin kamar mandi. Salah satu bagian favorit saya adalah ketika
Jobs mengatakan, “Jangan
terjebak dalam dogma—yakni hidup dengan hasil pemikiran orang lain.” Dan juga
tentang bagaimana kematian adalah penemuan terbaik dari kehidupan karena
membuat kita sadar bahwa waktu itu terbatas. Kata-kata itu tidak hanya saya
hafal di luar kepala—kata-kata itu mulai
mengubah isi hati dan cara hidup saya. Karena ketika kita mendengar pesan yang
sama berulang kali, ia mulai tertanam dalam kesadaran, dan perlahan mengubah
cara kita bertindak. Itulah
kekuatan pengulangan. Di zaman sekarang, kita sering mengejar hal-hal baru, padahal ada kekuatan besar dalam belajar hal yang sama
secara mendalam dan konsisten.
Kebiasaan ketiga adalah mindfulness atau
meditasi—yakni memiliki waktu untuk mengecek diri sendiri.
Saya selalu bilang ke orang-orang, kita menjadwalkan
pertemuan dengan teman, keluarga, bahkan tidak pernah membatalkan janji dengan
anak-anak kita. Tapi kita tidak pernah menjadwalkan pertemuan dengan diri
sendiri. Padahal, hanya tiga menit di awal hari dan tiga menit di akhir hari
bisa membawa perubahan besar. Cukup tanyakan: “Apa yang saya butuhkan hari ini
agar harinya jadi menyenangkan?” Bisa jadi secangkir kopi, pertemuan yang
menyenangkan, atau persiapan untuk sesi podcast. Lalu di malam hari, tanyakan
kembali: “Bagaimana hari saya tadi? Apa yang saya pelajari? Bagaimana perasaan
saya?”
Itulah awal mula meditasi. Tapi banyak orang—terutama
perempuan—merasa sulit menyediakan ruang dan waktu untuk diri sendiri. Saya
sering melihat laki-laki, bahkan yang sangat sibuk dan punya anak banyak, masih
bisa menemukan waktu 40 menit untuk meditasi. Tapi kenapa perempuan sulit
melakukannya?
Karena perempuan dibentuk untuk menjadi perawat,
pengasuh, pengayom—bukan untuk diri sendiri, tapi untuk orang lain. Mereka
diajarkan bahwa nilai mereka berasal dari memberi kepada orang lain. Jadi
mereka cenderung menempatkan diri di urutan kedua, ketiga, bahkan terakhir—atau
tidak masuk daftar sama sekali.
Padahal, perempuan punya dampak luar biasa terhadap
kehidupan orang di sekitarnya. Ibu saya, misalnya—beliau membuatkan sarapan,
makan siang, makan malam untuk saya dan saudara saya setiap hari. Mengantar dan
menjemput kami sekolah. Bekerja malam hari, lalu kembali dan membantu kami
mengerjakan PR. Tidak ada manusia lain yang lebih berpengaruh dalam hidup saya
daripada ibu saya.
Dan justru karena kasih sayangnya, saya tumbuh penuh
cinta. Tapi sekarang, yang saya harapkan adalah: andai saja dulu beliau sempat
melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri.
Bahkan saat ini, jika saya berkata, “Bu, terbanglah ke
LA, aku rindu,” beliau akan langsung datang. Dan itulah mengapa saya terus
menekankan pentingnya menempatkan diri sendiri di prioritas pertama. Meditasi
adalah cara melakukannya. Ini bukan tentang mencuri waktu dari orang lain, tapi
justru memberi lebih banyak kepada mereka, karena kita memberi dari tempat yang
penuh.
Jika kamu bisa melihat meditasi atau waktu untuk diri
sendiri sebagai kontribusi bagi orang lain—karena kamu menjadi versi
terbaik dari dirimu—maka itu bukanlah tindakan egois. Itu adalah bentuk
kepedulian terdalam.
Kamu benar sekali—semuanya kembali ke cara kita mereframe
pola pikir. Apakah kita memberikan yang terbaik dari diri kita untuk orang
lain, atau justru hanya memberikan sisa-sisanya? Sebagian besar dari kita,
tanpa sadar, hanya memberi sisa energi, sisa perhatian, sisa waktu. Dan itu
bukan salahmu. Itu adalah hasil dari struktur dan pola pikir yang dibentuk oleh
masyarakat sejak lama.
Tapi ketika kamu mulai berinvestasi pada dirimu sendiri,
orangtuamu akan merasakan versi terbaik dari dirimu. Pasanganmu, anak-anakmu,
rekan kerjamu—semuanya akan mendapat dirimu yang lebih utuh, lebih hadir, dan
lebih sehat secara emosional. Hanya dengan melakukan satu hal kecil untuk diri
sendiri setiap hari, selama tiga menit saja—entah itu menikmati kopi dengan
tenang, menonton video yang kamu suka, atau sekadar duduk dan bernapas—kamu
sudah menyuplai energi penting untuk menghadirkan dirimu secara utuh bagi orang
lain.
Kebiasaan keempat adalah olahraga. Kita semua tahu
pentingnya aktivitas fisik, tapi kenyataannya, kita sering mengabaikannya.
Padahal, justru hal-hal yang paling sederhana dan sering diulang itulah yang
memiliki dampak paling besar.
Pertanyaannya: bagaimana menjadikan olahraga sebagai
kebiasaan? Ada dua hal dalam psikologi manusia yang bisa membuat olahraga jadi
lebih mudah dijalani: kolaboratif dan kompetitif.
Kolaboratif artinya kamu merasa tidak sendirian. Bisa
jadi kamu berolahraga bersama seseorang, tapi tidak harus. Bisa juga sekadar
tahu bahwa ada orang lain yang kamu kenal, yang juga bangun dan bergerak di jam
yang sama. Mungkin kalian saling mengirim pesan, berbagi hasil, atau sekadar
menyemangati. Intinya, kamu punya komunitas atau partner yang punya tujuan
serupa.
Itu tidak berarti kamu harus berbicara dengan siapa pun
saat olahraga. Bahkan jika kamu tidak ingin berinteraksi langsung, kamu tetap
bisa merasa terhubung. Yang penting adalah kamu tahu: aku tidak sendiri dalam
perjalanan ini.
Yang kedua adalah kompetisi. Manusia pada dasarnya
suka menang. Misalnya, kalau kamu mengadakan tantangan 10.000 langkah bersama
keluarga, semua orang akan semangat jalan malam-malam hanya untuk memastikan
langkah mereka cukup. Kita pernah menikmatinya saat kecil, saat ada lomba antar
sekolah. Tapi saat dewasa, kita lupa bahwa kompetisi bisa membuat sesuatu jadi
lebih seru.
Itulah yang sering salah dari pendekatan olahraga: kita
terlalu fokus menjadikannya rutinitas atau kebiasaan yang "harus
dilakukan." Padahal, kalau dibuat kompetitif—bahkan secara
kecil-kecilan—olahraga jadi lebih menyenangkan, dan lebih bertahan lama.
Kebiasaan terakhir adalah tidur. Ini adalah aspek
yang sangat diremehkan. Banyak orang tidak menyadari betapa besar pengaruh
tidur terhadap kualitas hidup secara keseluruhan. Padahal, tidur bukan sekadar
istirahat—ia memperbaiki, membangun kembali, dan menyegarkan seluruh sistem
tubuh dan pikiran.
Jadi, kelima kebiasaan penting ini adalah:
- Thankfulness
(rasa syukur)
- Insight
(pembelajaran harian)
- Meditation
(waktu tenang untuk diri sendiri)
- Exercise
(aktivitas fisik)
- Sleep
(tidur yang berkualitas)
Jika disingkat, kelima hal ini membentuk akronim T.I.M.E.S.—lima
hal yang tidak bisa ditawar untuk kamu yang ingin menjalani hidup dengan
performa dan kesejahteraan optimal.
Jay Shetty's 5 Habits For Lasting Wellness Aspire with Emma Grede
https://www.youtube.com/watch?v=cP-P8tOCLYY
Comments
Post a Comment