INDRA-LEADERSHIP

 Former Pepsi CEO: The Hidden Cost of Rising to the Top | Indra Nooyi

https://www.youtube.com/watch?v=E50ix2Y62y4

Welcome Indra

Indra bercerita tentang masa kecilnya di India, tumbuh dalam lingkungan yang baru saja keluar dari 350 tahun penjajahan Inggris. Saat itu ia merasa harus benar-benar mengangkat dirinya sendiri. Suatu ketika, ia pernah berbincang dengan Steve Jobs, yang memberinya nasihat untuk tidak terlalu baik hati. Dari percakapan itu, pelajaran terbesar yang Indra ambil adalah tentang pentingnya memiliki pemahaman mikro. Jika kita tidak memahami bisnis hingga ke tingkat paling bawah, kita bisa saja membuat keputusan di puncak yang sebenarnya tidak dapat diimplementasikan. Dalam bisnis besar bernilai miliaran dolar, jika kita tidak benar-benar layak berada di posisi tersebut, orang-orang di bawah siap untuk menyingkirkan kita. Itulah kenyataan: semakin tinggi posisi kita, tekanannya adalah “naik atau keluar.”

Indra lalu berbagi kisah manis tentang awal hubungannya dengan sang suami. Mereka pertama kali menonton film Silver Streak di Standberg Theater, lalu makan malam bersama. Setelah itu, mereka memutuskan untuk menikah — meski sampai hari ini mereka masih bercanda, tidak yakin siapa sebenarnya yang melamar lebih dulu. Kadang Indra menggoda suaminya, “Kenapa kamu terburu-buru melamar? Aku ingin dikejar, diajak makan malam romantis, dimanjakan dulu.” Namun suaminya menjawab, “Aku tidak melamar kamu, kamu yang melamar aku.” Dan saat Indra bertanya kenapa dia menerima lamaran itu, suaminya hanya bilang, “Entahlah, rasanya memang sudah takdir.” Meski dulu mereka tak banyak menghabiskan waktu berdua, sepertinya tetap ada percikan yang menyatukan mereka. Ia menyebut suaminya orang yang sangat baik, dan yakin suaminya juga melihatnya sebagai pribadi yang baik. Mereka menikah bukan karena proses pacaran panjang, melainkan karena kesamaan nilai dan keluarga. Hingga kini, 45 tahun kemudian, mereka masih bisa tersenyum dan bertanya, “Siapa sih sebenarnya yang dulu melamar siapa?”

Menurut Indra, barangkali justru karena mereka benar-benar baru “mulai berpacaran” setelah menikah — saling mengenal perlahan — itu yang membuat pernikahan mereka kuat. Proses penemuan yang panjang itu ternyata membuat mereka tetap saling menyukai dan mencintai.

Kembali ke masa kecilnya di India, Indra mengingat bahwa dorongan untuk berprestasi datang bukan hanya dari ibu, tetapi juga ayah, kakek, dan seluruh keluarga besar. Semua menanamkan pentingnya melakukan sesuatu dengan sangat baik. Jika tidak bisa mendapatkan nilai bagus, apa gunanya untuk masyarakat? Apa yang akan kita kontribusikan? Jadi sejak kecil ia sudah dibiasakan untuk mendorong diri sendiri, tidak boleh bermalas-malasan, karena “setan punya pekerjaan untuk tangan yang menganggur.” Setiap waktu senggang harus digunakan untuk membaca. Bahkan jika mau mengeluh, kepada siapa? Semua orang di komunitasnya pun melakukan hal yang sama pada anak-anak mereka.

Itulah lingkungan di mana Indra dibesarkan, penuh dorongan untuk maju karena India sedang berusaha bangkit dari penjajahan panjang dan mencari tempatnya di dunia. Mereka melihat negara-negara lain yang berkembang, muncul inovasi dan ekonomi yang lebih baik, dan mereka sadar: semua orang harus menarik diri mereka sendiri agar negaranya bisa maju. Keluarga memang mendorong, tapi kita sendiri yang harus menarik diri kita naik. Seluruh masa kecil Indra adalah tentang kerja keras, menjadi anggota tim di rumah, membantu pekerjaan rumah, hidup dengan sangat sederhana tapi penuh disiplin, kebebasan yang tetap berada dalam bingkai. Prinsipnya: kerja keras, belajar sungguh-sungguh, jadilah orang yang dapat diandalkan. Jika sudah berjanji, tunaikan, kecuali kamu meninggal.

Ketika akhirnya datang ke Yale, Indra bukannya merasa orang-orang di sana tidak bekerja keras. Justru ia merasa kagum pada semua orang yang ditemuinya. Di India, mereka bekerja keras karena untuk hal-hal sederhana pun harus berjuang. Mau setrika baju misalnya, kadang listrik padam, jadi mereka menggunakan setrika yang diisi arang panas. Di sekolah Katolik, seragam harus licin dan rapi, sementara di Amerika tinggal beli spray starch. Di India mereka harus membuat kanji sendiri di rumah, kadang masih ada gumpalan yang menempel di baju karena tidak larut sempurna. Jadi banyak waktu terbuang hanya untuk “tugas bertahan hidup.” Sedangkan di Amerika, semua itu sudah beres, sehingga orang-orang bisa fokus pada hal-hal besar, berpikir kreatif, menembus batas, dan tetap hormat dalam caranya sendiri. Indra justru terpesona dan berpikir, “Bagaimana caranya jadi seperti mereka?”

Sebelum berangkat ke Amerika, Indra sempat mendapat promosi besar — memimpin 60% pabrik — pada usia yang masih sangat muda. Hidupnya akan nyaman, tinggal di rumah, tanpa beban biaya, kariernya jelas. Tapi ia sudah lama memimpikan Amerika, negeri inovasi, budaya, musik, dan kewirausahaan. Saat berbicara dengan bosnya, Norman, tentang pilihan antara pekerjaan mapan atau Yale, Norman memberinya nasihat: jika berada di posisinya Indra, ia akan mengambil jalur yang berisiko. “Kamu mungkin tidak dapat kesempatan ini lagi.” Meski akan berutang untuk biaya kuliah, menghadapi kegagalan di negeri asing, dan minim keluarga, akhirnya Indra memutuskan mengambil risiko itu.

Pengalaman ini memengaruhi cara Indra memimpin saat menjadi CEO PepsiCo. Ketika ada karyawan datang dengan peluang besar di luar, ia selalu mempertimbangkan: apakah mereka lebih baik pergi dulu, mendapat pengalaman lain, lalu mungkin kembali? Bahkan kalau itu berarti sementara Pepsi kehilangan orang hebat, suatu saat mereka bisa kembali membawa perspektif baru. Atau kalau memang karier orang itu akan lebih baik di tempat lain, ia akan dengan jujur memberi dukungan, rekomendasi, dan membantu mereka menemukan jalannya.

Setelah Yale, Indra masuk dunia konsultasi di Boston Consulting Group. Baginya itu ibarat dilempar ke kolam untuk belajar berenang. Setiap orang sangat cerdas, saling mendorong untuk beroperasi di level tertinggi. Di BCG ia harus mengerjakan dua proyek dari dua industri berbeda sekaligus, mempelajari value driver masing-masing, berpikir bagaimana menambah nilai bagi klien, menghadapi para eksekutif puncak yang dulu hanya ia anggap “dewa perusahaan.” Ia belajar bagaimana mengemukakan pendapat tanpa terlihat sok tahu. Enam setengah tahun di sana membuatnya merasa bertumbuh 10–15 tahun sekaligus. Berat, tapi itu pengalaman yang tidak akan ia tukar dengan apa pun.

Indra bercerita betapa pentingnya perlindungan privasi digital baginya. Ia menggunakan NordVPN untuk mengenkripsi seluruh aktivitas internetnya, sehingga tidak ada yang bisa melihat apa yang ia telusuri, beli, atau kerjakan—bahkan penyedia layanan internetnya sekalipun. Menurutnya, keunggulan NordVPN adalah kecepatannya, sehingga ia tak perlu mengorbankan keamanan demi kelancaran. Baik saat melakukan riset, mengirim file, atau streaming, semuanya berjalan mulus tanpa hambatan.

Fitur favorit Indra adalah kemampuan untuk mengganti lokasi virtual. Dengan begitu, ia bisa mendapatkan harga lebih baik untuk tiket pesawat, hotel, dan langganan hanya dengan terhubung ke server negara lain. Saat bepergian, ia juga dapat mengakses layanan streaming favoritnya seolah-olah sedang berada di rumah. Ditambah lagi, fitur Threat Protection Pro memblokir iklan serta tautan berbahaya sebelum menjadi masalah, dan dark web monitor Nord memberinya peringatan jika kredensialnya bocor secara online. Semua ini hanya seharga secangkir kopi per bulan, dengan kemudahan sekali klik langsung terhubung dan terlindungi.

Selain itu, Indra juga menyinggung betapa banyak orang yang sebenarnya membayar terlalu mahal untuk tagihan ponsel mereka. Dengan Mint Mobile, ia bisa mendapatkan layanan premium di jaringan 5G terbesar hanya dengan $15 per bulan, termasuk data cepat serta telepon dan SMS tanpa batas. Yang menarik, tidak perlu ganti nomor atau telepon—hanya layanan yang lebih cerdas dengan lebih sedikit kejutan di tagihan, sehingga uang bisa digunakan untuk hal-hal lebih penting.

Indra lalu masuk ke pembahasan mengenai pengalamannya mempelajari industri yang sama sekali baru baginya. Misalnya saat mengerjakan proyek tentang industri tisu, ia pergi langsung ke pabrik, jalur produksi, hingga laboratorium R&D, berbicara dengan siapa pun yang mau meluangkan waktu untuk menjelaskan. Baginya, seorang konsultan tidak boleh hanya duduk dan memberikan arahan tanpa benar-benar memahami detailnya. Filosofinya sederhana: zoom in sebelum zoom out. Ia selalu masuk mendalam lebih dulu, mempelajari bisnis dari bawah, lalu baru mengambil jarak untuk melihat strategi apa yang kurang tepat atau perlu diubah.

πŸ” "Zoom In sebelum Zoom Out" — Pendekatan kepemimpinan yang mengutamakan pemahaman mendalam sebelum mengambil keputusan strategis.
πŸ“Œ Fokus pada detail terlebih dahulu: Memahami bisnis dari level bawah, proses operasional, dan dinamika lapangan.
🎯 Baru kemudian melihat gambaran besar: Setelah benar-benar mengerti realitas di lapangan, barulah mengevaluasi dan mengubah strategi dari posisi yang lebih tinggi (zoom out).

Poin ini menekankan bahwa pengambilan keputusan yang tajam dimulai dari kedalaman observasi, bukan sekadar intuisi dari atas.

Ketika menjadi CEO PepsiCo, prinsip ini terbukti sangat membantu. Banyak orang bilang CEO tak boleh mikromanage, dan Indra setuju. Namun ia menekankan pentingnya micro understanding. Jika tidak memahami bisnis sampai ke titik paling detail, strategi di level atas bisa saja gagal diterapkan. Strategi dan implementasi harus berjalan beriringan. Karena ia tidak tumbuh dari latar belakang operasi atau P&L, maka sebagai gantinya ia terjun sendiri belajar setiap bisnis dari bawah. Ia meminta orang-orang mengajarinya langsung di pabrik dan lab, bagaimana konsentrat dibuat, bagaimana keripik Doritos diproduksi, hingga detail distribusi.

Ia belajar bahwa di tingkat bawah, yang diperhitungkan bukan jutaan dolar, melainkan sepersekian sen. Sebagai eksekutif keuangan, ia dulu memikirkan angka besar: jutaan, ratusan juta. Namun para manajer operasi justru fokus pada “kanan titik desimal”—misalnya menghemat satu sen saja per kemasan bisa berdampak luar biasa besar jika dikalikan jutaan unit. Contohnya saat mereka menargetkan pengurangan pemakaian air di pabrik minuman dari 2,5 liter per liter Pepsi menjadi 1,2 liter. Itu tidak cukup hanya dengan berkata, “Kurangi sampai sekian!” tetapi perlu pemahaman detail: di mana air digunakan, bagaimana daur ulang, standar kebersihannya, lalu menetapkan target bertahap yang realistis.

πŸ” 1. Micro Understanding over Micromanaging

Indra Nooyi tidak percaya pada micromanagement, tapi ia menekankan pentingnya micro understanding — memahami detail operasional bisnis secara menyeluruh sebelum mengambil keputusan strategis.

🧠 2. Terjun Langsung, Belajar dari Bawah

Karena tidak berasal dari latar belakang operasional, ia belajar langsung di lapangan:

Melihat proses produksi di pabrik dan laboratorium

Memahami cara membuat konsentrat dan memproduksi Doritos

Mempelajari logistik dan distribusi secara detail

πŸ’° 3. Fokus pada “Kanan Titik Desimal”

Sebagai mantan eksekutif keuangan, ia terbiasa berpikir dalam jutaan dolar. Namun di level operasional, efisiensi sen demi sen sangat berarti. Misalnya:

Menghemat 1 sen per kemasan → berdampak besar jika dikalikan jutaan unit

Target efisiensi air: dari 2,5 L → 1,2 L per liter Pepsi

→ Membutuhkan pendekatan detail, bukan sekadar target besar

πŸ”„ 4. Sinkronisasi Strategi dan Implementasi

Strategi hebat tidak akan berhasil tanpa implementasi yang realistis. Indra menekankan bahwa pemimpin harus mampu menjembatani visi besar dengan realitas teknis di lapangan.

🧩 5. Pendekatan Bertahap & Realistis

Untuk mencapai target besar, seperti pengurangan penggunaan air, dibutuhkan:

Pemetaan detail proses

Pemahaman terhadap tantangan teknis

Penetapan langkah kecil yang terukur

Kesimpulan:

πŸ”‘ Kepemimpinan efektif bukan soal kontrol, tapi soal memahami akar masalah dan prosesnya dengan mendalam, lalu menyusun strategi yang bisa benar-benar dijalankan.

Indra juga punya cerita unik saat menjadi konsultan. Suatu ketika, ia duduk di bar di Green Bay, Wisconsin, mendengarkan para pekerja lini produksi mengobrol tentang masalah bisnis. Dari sana ia mendapatkan wawasan berharga yang mungkin tak akan muncul dari laporan resmi. Dalam kasus lain, saat ingin mengetahui ukuran pabrik kompetitor yang baru dibangun di lokasi terpencil, ia tak menyerah meski data publik sangat terbatas. Hingga akhirnya, berkat permintaan data satelit melalui Freedom of Information Act (FOIA), ia bisa mendapatkan foto udara dari ketinggian berbeda, memperkirakan ukuran pabrik dan kemungkinan lini produksinya.

Bagi Indra, di Amerika Serikat selalu ada data—kalau belum ditemukan, berarti belum mencari cukup keras. Bahkan dalam situasi pandemi COVID-19, metode analitik seperti syndromic surveillance yang memantau pola belanja di apotek atau analisis air limbah membantu memperkirakan penyebaran tanpa melanggar privasi.

Sebagai pemimpin, Indra mengakui dirinya terkenal blak-blakan dan lugas. Namun menyampaikan pesan secara langsung agar benar-benar dipahami ternyata adalah proses yang terus berkembang. Kadang orang meninggalkan pertemuan performa kerja sambil berpikir mereka baik-baik saja, padahal maksud pesannya sebaliknya. Di situ pentingnya menyampaikan dengan jelas agar tidak menimbulkan salah 

Indra berbicara tentang bagaimana seharusnya seseorang menerima evaluasi kerja yang jujur. Menurutnya, banyak orang tidak suka konflik atau menyampaikan kritik secara langsung. Mereka cenderung berputar-putar lalu merasa sudah menyampaikan pesan, padahal sebenarnya tidak. Pendekatan Indra justru berbeda: berikan pesannya secara lugas namun penuh dukungan, dan bantu mereka memperbaiki diri.

Karena itu ia menulis penilaian performa dengan struktur yang jelas: inilah yang sudah kamu lakukan dengan baik, ini yang belum baik, dan ini tiga atau empat hal yang perlu kamu tingkatkan. Ia juga menuliskan bagaimana ia sendiri akan membantu mereka berkembang. Terakhir, ia tambahkan seperti apa jalur karier mereka jika mereka menunjukkan kemajuan. Dengan begitu, surat evaluasi ini sekaligus menjadi apresiasi, peringatan, peta pengembangan, dan motivasi. Baginya, itu adalah kombinasi antara kelembutan, kejelasan, dan ketegasan — namun jangan lupakan ketegasannya. Karena pada titik tertentu, ia harus mengatakan, “Kamu perlu lebih mengenal pasar internasional. Tahun lalu kamu hanya dua kali ke luar negeri, masing-masing tiga hari, lalu langsung pulang. Bagaimana kamu bisa memahami pasar global kalau hanya duduk di kantor AS?” Setelah itu ia akan menulis target: tahun depan harus mengunjungi negara-negara tertentu dengan kedalaman yang spesifik. Ia tahu banyak yang mengira CEO tidak perlu turun ke level sedetail itu, tapi jika ia benar-benar peduli dengan orang tersebut, ia akan melakukannya, bahkan memantau perkembangannya di pertengahan tahun. Kalau orang itu berkata, “Saya malas ke luar negeri,” ia tahu orang ini tak cocok jadi CEO.

Filosofi kepemimpinan Indra Nooyi yang disampaikan dalam narasi tersebut:

πŸ”Ž 1. Wawasan Tak Selalu Datang dari Ruang Rapat

Cerita di bar Green Bay: Mendengarkan langsung percakapan pekerja lini produksi memberi Indra wawasan bisnis yang tidak muncul dari laporan resmi.

➡️ Pelajaran: Belajarlah dari sumber paling dekat dengan realita.

πŸ›°️ 2. Pantang Menyerah dalam Mencari Data

Saat ingin mengetahui ukuran pabrik kompetitor, Indra menggunakan data satelit via FOIA untuk menganalisisnya.

➡️ Filosofi: “Di AS selalu ada data. Kalau belum ketemu, berarti belum cari cukup keras.”

πŸ§ͺ 3. Pemanfaatan Data Inovatif

Dalam pandemi COVID-19, ia mengapresiasi analitik alternatif seperti syndromic surveillance dan analisis air limbah sebagai cara memahami pola tanpa melanggar privasi.

➡️ Kepemimpinan berbasis data yang cerdas dan etis.

πŸ—£️ 4. Komunikasi Blak-blakan yang Konstruktif

Indra sadar bahwa menyampaikan evaluasi tidak cukup hanya “secara halus”.

➡️ Pesan harus disampaikan dengan jelas, jujur, dan penuh dukungan.

πŸ“ 5. Struktur Evaluasi yang Komprehensif

Evaluasi kerja harus mengandung 4 unsur:

1. Apa yang sudah baik

2. Apa yang belum baik

3. Tiga-empat hal yang perlu ditingkatkan

4. Bagaimana pemimpin akan mendukung pengembangan mereka

➡️ Surat evaluasi = Apresiasi + Peringatan + Rencana Aksi + Motivasi.

πŸ’‘ 6. Kombinasi Kejelasan, Kelembutan, dan Ketegasan

Ia menekankan bahwa menjadi pemimpin itu bukan sekadar memberi semangat, tapi juga berani menuntut pertumbuhan yang konkret.

Contoh nyata: Jika seseorang minim exposure global, maka ia akan menuliskan target kunjungan negara secara spesifik dan menagih perkembangannya.

➡️ “Kalau kamu malas ke luar negeri, kamu tidak cocok jadi CEO.”

❤️ 7. Kepedulian yang Ditunjukkan Lewat Detail

Banyak orang kira CEO hanya strategis. Tapi bagi Indra, kalau ia peduli, maka ia turun tangan sampai ke titik sangat detail — termasuk memantau pertumbuhan pribadi bawahannya.

πŸ”‘ Kesimpulan Utama

Kepemimpinan sejati menggabungkan kejelian mengumpulkan data dari berbagai sumber, komunikasi transparan, keberanian memberi evaluasi jujur, dan komitmen tulus membantu orang bertumbuh.

Ia lalu ditanya, dari ratusan ribu karyawan PepsiCo, sebenarnya berapa banyak yang benar-benar ia awasi secara pribadi? Jawabannya sekitar 300 hingga 400 orang yang disebut “aset korporasi.” Mereka adalah orang-orang yang mungkin dalam 15 tahun bisa jadi CEO. Biasanya mereka menarik perhatian Indra karena memiliki ide-ide brilian — bukan ide yang sekadar mendukung pemikirannya, tapi ide yang menantang dan membawa perusahaan ke arah lebih baik. Ia tidak mau dikelilingi “yes men,” tapi orang-orang yang berani berkata, “Bagaimana kalau kita menembus batas pemikiran ini? Bagaimana kalau kita lakukan dengan cara lebih kreatif?” Ia mencari orang yang lebih mengutamakan perusahaan dibanding kepentingan pribadi.

Tanda-tandanya? Mereka berani ambil tugas sulit, tak sibuk mencari kambing hitam ketika gagal, bahkan rela datang dan berkata, “Ada yang kurang beres di divisi lain, bolehkah saya bantu membereskannya?” Meski begitu, Indra tetap berhati-hati agar tidak memberi kesan mengirim “orang titipan CEO” ke sana. Ia ingin orang tersebut tetap tampak melakukannya atas inisiatif sendiri, demi menjaga dinamika organisasi.

Indra kemudian membahas soal mengurangi birokrasi, meningkatkan meritokrasi, dan meminimalkan politik kantor. Menurutnya, di mana ada orang, pasti ada politik. Kuncinya adalah pahami politik itu — siapa yang tidak suka siapa, bagaimana pola rapat — tapi jangan terlibat gosip atau permainan politik. Fokus saja pada pekerjaan. Itulah prinsipnya sepanjang kariernya. Ditambah lagi, karena ia punya keluarga dan anak-anak, ia selalu pulang setelah bekerja. Tak ada waktu untuk minum-minum atau membahas politik kantor di luar jam kerja.

Tentang birokrasi, PepsiCo di masa kepemimpinannya punya sistem pengukuran ketat: produktivitas per karyawan, struktur organisasi (span & layers), biaya overhead. Mereka selalu memantau apakah struktur organisasi mulai “menggendut” dengan lapisan-lapisan yang tak perlu. Saat melihat itu, mereka segera meninjau ulang dan memangkasnya. Perusahaan juga menetapkan target internal yang cukup menantang — lebih tinggi daripada target yang dijanjikan ke investor publik. Dengan begitu, bonus hanya akan keluar jika target internal tercapai, bukan hanya target eksternal. Itu menciptakan budaya performa yang sehat.

Indra kemudian menyinggung cerita favorit dari bukunya. Saat ia diangkat menjadi presiden PepsiCo, ia pulang ke rumah dengan perasaan bangga luar biasa. Begitu tiba di rumah dan memberitahu ibunya bahwa ia punya kabar hebat, ibunya hanya berkata, “Nanti saja. Sekarang pergi belikan susu dulu.” Indra marah sekali, lalu berkata, “Aku baru saja jadi presiden PepsiCo. Masa kabar itu tidak lebih penting dari beli susu?” Ibunya menjawab, “Kamu mungkin presiden PepsiCo, tapi di rumah ini kamu istri, ibu, dan anak. Tak ada yang bisa menggantikan posisi itu. Jadi tinggalkan mahkotamu di garasi.” Itu mengajarkan Indra tentang keseimbangan antara kekuasaan dan kerendahan hati. Di puncak kariernya, ia sadar: orang lain bisa menggantikan posisinya di kantor, tapi di rumah hanya dia yang bisa jadi ibu, istri, dan anak.

Baginya, ini bukan soal “keseimbangan” — karena kalau kita bayangkan keseimbangan itu seperti balok diam di atas tumpuan, itu mustahil. Bukan juga harmoni yang selalu manis. Ia menyebutnya “juggling,” menjuggling semua peran, berusaha agar bola-bola terpenting tidak jatuh dan pecah. Semua peran itu sebenarnya full-time: pekerja, ibu, istri, anak. Dan kadang berat, kadang penuh rasa bersalah.

Indra menutup dengan refleksi bahwa pekerjaan itu pada dasarnya adalah hal yang egois: kita menyukainya, kita suka tantangan. Tapi begitu punya anak, itu adalah ikatan indah yang bersifat seumur hidup. Maka orang hanya sebaiknya punya anak jika benar-benar mencintai anak. Ia mengaku sangat mencintai anak-anaknya, meski kadang anak-anaknya bercanda kesal, “Kami ini bukan pegawai kantor, Mom!” — mengingatkan bahwa rumah bukanlah kantor. Bagi Indra, kunci untuk bertahan memainkan semua peran ini adalah membangun sistem pendukung dan memiliki ketangguhan mental. Setiap orang tua pekerja harus menemukan cara mengatur prioritas dan tetap tidak kehilangan jati diri.

Indra berbagi bahwa dalam perjalanan kariernya, ada banyak hal yang akhirnya harus dia relakan. Banyak hal untuk dirinya sendiri yang tidak bisa dia lakukan demi tanggung jawab pada anak-anak, suami, maupun pekerjaannya. Menurutnya, kita harus melihat hidup tidak hanya dari sudut pandang pribadi, tapi juga dari mata anak-anak kita, pasangan kita, maupun organisasi tempat kita bekerja. Dengan kata lain, kita harus rela “bertransformasi menjadi diri baru” — itulah kenyataan.

Saat menjadi CEO PepsiCo, anak-anaknya masih cukup kecil. Dengan volume informasi yang begitu besar yang datang setiap hari ke meja seorang CEO, bagaimana ia mengatasinya? Ternyata ada tiga “keahlian” (atau mungkin kutukan, katanya) yang ia miliki: ia tidak banyak tidur, ia memiliki daya ingat sangat kuat, dan ia seorang pembaca cepat. Ketiganya amat membantunya untuk menyerap informasi dalam jumlah besar.

Selain itu, ia punya sistem pendukung. Dari keluarga, dari asisten rumah tangga yang sudah seperti keluarga, serta yang paling penting: seorang suami yang sangat suportif. Saat Indra harus bepergian, suaminya memastikan anak-anak terurus. Saat suaminya harus bepergian, giliran Indra yang menanggung penuh. Akhir pekan adalah waktu khusus keluarga. Ia jarang ke kantor di akhir pekan, meski tetap bekerja dari rumah — membaca dokumen saat anak-anak mengerjakan PR. Ia tidak mengklaim selalu hadir bagi anak-anak, karena, menurutnya, tidak ada yang bisa jadi CEO sekaligus ibu sempurna, istri sempurna, dan segalanya sempurna sekaligus. Kita hanya bisa melakukan yang terbaik.

Indra mengakui bahwa banyak orang tidak siap melakukan pengorbanan sebesar itu. Ia sendiri sering berpikir, “Aku melewatkan banyak hal menyenangkan, 20 kencan dengan suami yang gagal.” Tapi secara keseluruhan, ia merasa paket hidupnya tetap “berjalan cukup baik.”

Ia mengingatkan, banyak orang memuja karier CEO atau entrepreneur, tapi tidak mau menjalani semua yang datang bersamanya. Perjalanan naik ke puncak organisasi itu sangat menantang. Setiap organisasi adalah piramida, bukan silinder. Di PepsiCo, level manajer paling bawah bisa berisi 15.000 orang. Tapi makin ke atas, menyusut jadi 60, lalu 15, lalu hanya satu CEO. Sementara dunia terus berubah, kompetisi makin ketat, dan kalau kamu tidak layak, orang-orang di bawah sudah menunggu untuk menggantikanmu. “Naik ke atas itu sulit. Tapi bertahan di atas lebih sulit lagi,” katanya.

Karena itulah, saat ada pergantian CEO, biasanya banyak orang level atas keluar — terutama para kandidat yang juga bersaing menjadi CEO tapi kalah. Namun di masa Indra, ia berhasil mempertahankan banyak di antaranya. Ia berkata kepada mereka, “Hanya karena aku menjadi CEO, bukan berarti kita tak bisa bekerja bersama.” Sebagian tetap bertahan, lalu setelah beberapa tahun justru direkrut perusahaan lain menjadi CEO juga. Bagi Indra, itu justru bagus karena PepsiCo alumni kini memimpin banyak perusahaan besar.

Ia menceritakan sebuah momen unik. Hari pertama menjadi CEO, Indra masuk ke kantor General Counsel (Larry), dan langsung berkata, “Larry, kamu saya pecat.” Larry terkejut. Sepuluh detik kemudian Indra berkata, “Sekarang saya rekrut kamu lagi sebagai General Counsel saya.” Mereka sama-sama tertawa. Itu penting, karena ia ingin semua orang tahu mereka kini bekerja untuk CEO baru, bukan sekadar “warisan” dari CEO sebelumnya. Larry, yang sangat dihormati Indra, kemudian menjadi salah satu kunci kesuksesan masa awal kepemimpinannya.

Terkait proses suksesi CEO, Indra menjelaskan CEO lama tidak terlibat langsung memilih penerus. Mereka hanya memberi pendapat, lalu keluar ruangan. Dewan direksi yang memutuskan. Saat ia mundur, ia memberikan data tentang 4–5 kandidat, plus kelebihan dan kekurangan mereka, serta evolusi mereka selama bertahun-tahun. Tapi ia tegaskan pada dewan: “Saya akan pergi, kalianlah yang harus memastikan perusahaan tetap sukses.” Setelah itu, dewan melakukan proses seleksi teliti selama hampir dua tahun. Karena itu menurut Indra, CEO lama sebaiknya tidak duduk di dewan direksi perusahaan yang ditinggalkannya. Kalau masih duduk di sana, CEO baru akan merasa diawasi terus. Saat ia mundur, ia hanya mau menjadi chairman dua bulan, lalu benar-benar keluar. Supaya CEO baru punya kebebasan penuh.

🧠 1. Mengenal Tim dan Organisasi Secara Mendalam


Indra mengenal baik kelebihan, kekurangan, dan evolusi tiap individu serta organisasi selama masa kepemimpinannya.

➡️ Pengetahuan ini penting untuk transisi yang bijak.




---


πŸ“£ 2. Pesan Tegas ke Dewan Direksi


Ia menyampaikan pesan penting:

“Saya akan pergi. Kalianlah yang harus memastikan perusahaan tetap sukses.”

➡️ Menunjukkan tanggung jawab bersama, bukan ketergantungan pada satu sosok.

⏳ 3. Proses Suksesi yang Panjang dan Cermat

Dewan melakukan seleksi CEO pengganti selama hampir dua tahun, mencerminkan pentingnya kesiapan dan kehati-hatian dalam peralihan kepemimpinan.

πŸšͺ 4. CEO Lama Sebaiknya Tidak Duduk di Dewan

Indra percaya bahwa mantan CEO sebaiknya tidak menjadi bagian dari dewan perusahaan yang baru ia tinggalkan.

➡️ Agar CEO baru tidak merasa diawasi atau dibayangi.

🧾 5. Transisi Total dan Memberi Ruang Penuh

Setelah mundur, Indra hanya menjabat sebagai chairman selama dua bulan, lalu keluar sepenuhnya.

➡️ Filosofinya: pemimpin baru harus diberi kebebasan penuh untuk menakhodai tanpa campur tangan bayangan masa lalu.

πŸ”‘ Kesimpulan Utama:

Transisi kepemimpinan yang sehat menuntut kepercayaan penuh, pelepasan ego, dan ruang bebas untuk pemimpin baru agar mereka bisa berkembang dengan gayanya sendiri.

Tentang menjadi anggota dewan di perusahaan lain (misalnya Amazon), Indra menekankan perbedaan besar dengan CEO. Sebagai board member, ia hanyalah salah satu dari beberapa orang setara. Mereka bersama-sama bertanggung jawab mengarahkan perusahaan, memilih strategi dan pemimpin yang tepat, mengawasi tata kelola. Ia mengingatkan: “Kalau saya masih CEO, apakah saya suka kalau board member bersikap seperti saya sekarang?” Kalau jawabannya, “Tidak, saya akan benci,” maka ia segera mengubah perilakunya.

Ia juga bicara panjang lebar soal strategi. Menurutnya strategi adalah “merancang jalur ke depan yang bisa diimplementasikan, agar perusahaan mencapai hasil yang lebih baik dari hari ini.” Banyak orang keliru membuat strategi hanya di atas kertas, yang tidak realistis. Strategi harus bisa dilaksanakan. Karena itu harus paham manusia, proses, insentif, serta hambatan-hambatannya. Di PepsiCo, saat ia mengusung konsep “power of one” (menyatukan makanan & minuman), ia memikirkan: apa yang harus diubah, di mana friksinya, bagaimana memberi insentif supaya semua bergerak bersama.

Ia menutup dengan mengatakan bahwa keunggulan strateginya datang dari pengalaman konsultan, yang melatihnya untuk terus zoom in — zoom out, memiliki “peripheral vision,” dan belajar lintas industri. Itulah yang membekali dirinya memimpin perusahaan besar dalam dunia yang terus bergerak.

🌟 Menghapus Hambatan, Bukan Memaksa

Indra Nooyi menekankan, ketika ingin membuat perubahan dalam organisasi, jangan langsung berpikir soal memaksa atau memerintah dengan keras. Sebaliknya, carilah dulu titik-titik gesekan (friction) lalu hilangkan hambatannya. Sebab kebanyakan masalah dalam organisasi muncul dari gesekan antar proses, antar divisi, atau antar individu — bukan karena orang tidak mau bekerja. Jika hambatannya dihilangkan, segalanya akan bergerak lebih lancar.

🧩 1. Peran Board Member ≠ CEO


Sebagai anggota dewan (board member), Indra sadar dirinya bukan pengambil keputusan tunggal.

Ia hanyalah satu dari beberapa orang setara, yang bertugas:

Menentukan arah strategis perusahaan

Memilih pemimpin

Mengawasi tata kelola

➡️ Refleksi etis: “Kalau saya masih CEO, apakah saya suka diperlakukan seperti ini oleh board member?” Jika tidak, ia mengubah sikapnya.

🧭 2. Strategi Bukan Sekadar Dokumen

Strategi sejati = Rencana jalan ke depan yang bisa DIIMPLEMENTASIKAN.

  • Harus mempertimbangkan:
  • Faktor manusia
  • Proses dan struktur organisasi
  • Sistem insentif
  • Hambatan atau friksi yang ada

➡️ Kesalahan umum: Strategi sering dibuat indah di atas kertas tapi tidak realistis atau tidak bisa dijalankan di lapangan.

πŸ§ƒ 3. Studi Kasus: “Power of One” di PepsiCo

Visi menyatukan divisi makanan dan minuman jadi satu kekuatan sinergis.

Untuk mewujudkannya, Indra:

  • Mendeteksi titik friksi
  • Menyesuaikan struktur organisasi dan insentif
  • Menyatukan arah gerak lintas divisi

➡️ Strategi bukan soal ide besar, tapi soal menyatukan eksekusi lintas sistem.

πŸ”­ 4. Keunggulan Strategi = Perspektif Fleksibel


Pengalaman sebagai konsultan melatihnya untuk:


Zoom in & zoom out secara konstan


Punya peripheral vision (melihat dari sudut-sudut tak biasa)


Belajar lintas industri




➡️ Pemimpin hebat mampu membaca konteks luas sekaligus memahami detail terdalam.



---


🧹 5. Prinsip Perubahan: Hapus Hambatan, Bukan Paksa


Perubahan organisasi tidak dilakukan dengan otoriter.


Cari tahu titik gesekan dan hilangkan hambatannya:


Antara proses


Antar divisi


Antar individu




➡️ Masalah organisasi biasanya bukan karena orang malas, tapi karena sistem dan proses tidak selaras.



---


🌟 Kesimpulan Utama:


Kepemimpinan strategis bukan soal perintah, tapi soal menciptakan sistem yang mendukung sinergi dan eksekusi. Strategi harus realistis, adaptif, dan manusiawi.

Sebagai board member, seorang pemimpin sejati tahu kapan harus maju, kapan harus memberi ruang, dan bagaimana berkontribusi tanpa mengganggu.


πŸ” Bedanya Board Member Biasa dan Hebat

Menurut Indra, anggota dewan yang baik akan mempelajari materi rapat, memahami aturan tata kelola, dan hadir siap di pertemuan. Tapi anggota dewan yang hebat melakukan jauh lebih banyak: membaca segala sesuatu yang relevan di luar materi resmi, mendalami kompetitor, teknologi baru, tren industri, sehingga saat rapat, ia bisa memberi wawasan baru yang membuat perusahaan berpikir ulang. Itulah nilai tambah nyata.

πŸš€ Pelajaran dari Amazon

Indra duduk di dewan Amazon. Yang paling membuatnya kagum:

  1. Obsesinya pada pelanggan — bukan sekadar fokus, tapi benar-benar obsesi. Segala keputusan diarahkan ke bagaimana membuat hidup pelanggan lebih mudah, lebih murah, lebih cepat.
  2. Khawatir kehilangan budaya Day One — budaya saat Amazon masih kecil, lapar, gesit, penuh inisiatif. Meski kini raksasa, mereka paranoid supaya hierarki dan birokrasi tidak membunuh semangat awal itu.
  3. Siapa pun bisa mengusulkan ide lewat dokumen 6 halaman. Kalau idenya bagus, bisa langsung dapat dukungan. Amazon ibarat perusahaan raksasa yang tetap merasa seperti startup hari pertama.

Memimpin Saat Krisis

Indra mengatakan banyak yang mempelajari kepemimpinan krisis secara akademik, tapi di dunia nyata krisis terjadi dengan tekanan publik, media, investor, karyawan yang cemas. Apalagi sebagai CEO perempuan, sorotan media lebih besar.

Kuncinya:

  • Pahami akar masalahnya secara detail sebelum memutuskan rencana aksi. Tanyakan semua hal ke tim R&D dan manufaktur.
  • Bersikap jujur dalam komunikasi. Katakan terus terang pada karyawan maupun publik: ini masalahnya, ini rencana kami, dan kapan kami akan memberikan pembaruan.
  • Jangan mencari kambing hitam. CEO bertanggung jawab penuh, titik.

Saat menghadapi aktivis investor (misalnya Nelson Peltz), ia memposisikan white paper sang aktivis sebagai “konsultasi gratis.” Ia membacanya teliti, mencari jika ada ide bagus yang belum mereka lakukan. Tapi jika saran itu tidak sesuai arah strategis perusahaan, maka dijelaskan dengan tenang. “Kamu ingin kami ubah strateginya, apakah tren berubah? Tidak? Maka strategi ini tetap.”

Nelson kemudian menghormati itu. Bahkan saat Nelson merekomendasikan Bill Johnson ke dewan, itu justru bagus karena Bill teman Indra dan paham dunia konsumer. Bagi Indra, kalau investor memegang saham hanya 1-2% lalu menuntut kursi dewan, itu tidak wajar. Tapi kalau sudah 10-15%, barulah lebih logis.


πŸ‘©‍πŸ’Ό Perempuan dan Meritokrasi

Saat Indra menjadi CEO PepsiCo (perempuan pertama dari Asia yang memimpin perusahaan top AS), sorotan sangat besar. Ia merasa harus terus membuktikan diri agar tidak mengecewakan siapa pun — baik komunitas perempuan, imigran, maupun masyarakat India.

Kini sudah ada sekitar 10% CEO S&P500 yang perempuan, tapi itu belum cukup. Separuh lulusan MBA adalah perempuan, berarti ada kebocoran dalam pipeline. Menurutnya, kalau perusahaan betul-betul meritokratis, seharusnya merekrut dari seluruh pool talenta — tanpa bias.

Ia memberi contoh:

  • Saat perempuan presentasi, ada yang melirik sinis atau memotong, lalu ketika laki-laki mengulang ide yang sama, langsung dipuji “brilian.”
  • Hal-hal kecil ini merusak kepercayaan diri, yang akhirnya merusak kompetensi juga. Karena itu bias harus dicek sejak awal.

πŸ“ Kesimpulan

Indra menutup dengan pesan bahwa:

  • Strategi bukan hanya ide keren; harus bisa diimplementasikan, dengan menyiapkan proses, insentif, dan mengantisipasi hambatan.
  • Pemimpin sejati tetap tenang saat krisis, jujur pada semua pihak, tidak mengalihkan kesalahan.
  • Dan dalam mengelola organisasi, yang penting bukan memaksa, tapi mencari dan menghapus friksi supaya semua orang bisa bergerak maksimal.

Kalau mau, saya bisa buatkan juga:
• ringkasan poin bullet pendek,
• kutipan motivasi gaya LinkedIn,
• atau storytelling pendek untuk caption Instagram.
Silakan beri tahu saja mana yang Anda mau!

πŸ”Ž Mematahkan Bias, Menciptakan Ruang Aman

Indra Nooyi menekankan, jika perusahaan benar-benar ingin menjalankan meritokrasi, maka mereka harus memastikan setiap orang bisa menyampaikan pendapatnya tanpa merasa diremehkan. Ia pernah langsung menegur rekan kerja yang memotong pembicaraan orang lain atau yang diam-diam memutar mata saat perempuan mempresentasikan ide.

“Kalau kita sungguh-sungguh ingin semua talenta tumbuh, biarkan mereka bicara sampai tuntas, biarkan mereka berkembang,” katanya. Sebab ketika seseorang terus-menerus menghadapi bias — walau tak selalu disadari — lama-lama rasa percaya dirinya luntur. Begitu kepercayaan diri hilang, kompetensinya juga menurun karena ia terus bertanya-tanya, “Apakah saya cukup baik?”

Baginya, meritokrasi artinya melihat semua talenta setara, lalu menciptakan kesetaraan kesempatan, lingkungan yang suportif, dan memastikan tidak tergelincir ke kebiasaan lama yang bias.


πŸ“Š Mengkritisi Statistik: Mana Talenta Perempuan Kita?

Indra menyoroti data universitas yang menunjukkan sebagian besar lulusan terbaik (summa cum laude, magna cum laude) adalah perempuan, bahkan di bidang STEM. Tapi ketika melihat perekrutan, hanya sedikit perempuan yang direkrut.

“Kalau 55% lulusan terbaik adalah perempuan, kenapa hanya 20% perekrutan kita perempuan? Apalagi kalau kita perusahaan konsumer, harusnya merekalah yang paling tertarik ke sini,” katanya. Jadi perusahaan harus berani bertanya pada diri sendiri: “Apa yang salah dengan budaya kita, kenapa mereka tak tertarik masuk?”


πŸ’¬ Bias di Performance Review

Indra juga menyingkap pola bias yang ia temukan dalam rapat evaluasi kinerja.

  • Untuk pria, sering terdengar kalimat: “Dia memang tak penuhi semua target, tapi dia punya potensi besar.”
  • Untuk perempuan: “Dia penuhi semua target, tapi rasanya prospek dia ke depan tidak terlalu bagus.”

Ketika ditanya alasannya, sering jawabannya tidak jelas — hanya rasa “sepertinya dia tidak cocok,” yang muncul dari stereotip: cara perempuan berbicara, cara mengekspresikan emosi, atau bahkan cara mereka berpakaian.

Indra selalu langsung menghentikan diskusi seperti itu dan meminta mereka benar-benar menelaah, apakah ini fakta atau hanya bias tak kasatmata.


🚨 Hampir Mengundurkan Diri

Ada masa ketika Indra merasa diperlakukan tidak adil oleh beberapa eksekutif PepsiCo. Ia menemui CEO saat itu, Roger, dan berkata, “Besok saya akan presentasi ke dewan, lalu saya berhenti.”

Roger diam saja. Tapi hari itu juga, pertemuan mingguan yang biasa dipakai untuk “menghajar” Indra dibatalkan. Roger memanggil para pemimpin yang keras padanya dan tampaknya memberi peringatan. Esoknya, Roger datang ke kantor Indra dan membahas rencana perjalanan kerja seperti biasa — seolah masalahnya sudah selesai. Dan benar saja, sejak saat itu perlakuan pada Indra berubah drastis. Mereka tidak pernah lagi membahas soal ancaman mundur itu.

Indra belajar, kadang Anda perlu menegaskan batas supaya budaya buruk berhenti.


πŸ—£ Mengoreksi Perilaku Buruk Secara Langsung

Ia sendiri selalu menegur perilaku tidak pantas segera, tapi dengan cara manusiawi. Misalnya, “Hei, bisa biarkan dia menyelesaikan kalimatnya dulu?” atau “Jangan putar bola mata begitu, kecuali ada masalah dengan matamu.”
Cukup dilakukan beberapa kali, budaya perusahaan cepat berubah karena pesan itu menyebar ke seluruh organisasi.


πŸ’‘ Belajar dari Steve Jobs

Suatu kali Steve Jobs mengatakan padanya, “Kalau kau benar-benar peduli pada sesuatu, tunjukkan hasratmu. Dorong orang sampai tiga kali revisi kalau perlu, demi hasil sempurna untuk perusahaan.”

Steve memang sering meledak-ledak. Walau Indra tidak tipikal orang yang memaki-maki atau melempar barang seperti Steve, ia tetap mengambil intinya: “Kalau kamu peduli, tunjukkan. Dorong tim supaya hasil akhirnya betul-betul luar biasa.”


⚙️ Jadi “Program Manager” Meski CEO

Saat PepsiCo membangun divisi desain, Indra menuntut standar tinggi. Kalau desainnya jelek, ia bilang langsung, “Aku benci ini, coba lagi.” Tapi ia juga membuat suasana ringan, misalnya menambahkan guyonan, “Kalau ini ditunjukkan ke konsumen, dia pasti bilang apa?”

Pada satu produk penting, ia berkata, “Ini harus selesai dalam 6 bulan, padahal biasanya makan waktu 3 tahun. Dan aku program manajernya.”
Itu membuat tim kaget — berarti CEO akan review setiap Jumat. Biasanya kalau CEO turun tangan, mereka harus rapat internal dua kali sebelum laporan ke CEO. Tapi Indra bilang, “Tak perlu rapat persiapan. Datang langsung saja, aku di sini sebagai program manager, bukan CEO.”

Ia juga menyingkirkan hambatan birokrasi: menelepon pihak-pihak lain yang memperlambat proses, membuka jalan agar timnya bisa bergerak cepat. Energi antusias Indra menular, membuat semua orang terpacu.


πŸ† Kredit untuk Tim, Bukan untuk Diri Sendiri

Indra menekankan, kalau program sukses, kreditnya harus diberikan ke tim. “Jangan ambil pujian. Kamu memang gunakan kekuatan posisimu, tapi hasilnya karena kerja keras mereka.”
Sebaliknya, kalau gagal, pemimpinlah yang harus menanggung kesalahan. “Blame flows upward, credit flows downward.”

Tentu! Berikut adalah penulisan ulang dalam gaya narasi yang lebih ringkas, jelas, dan mengalir (bahasa Indonesia), tetap memuat poin-poin penting dari seluruh pembahasan panjang tersebut:


🌱 Menghancurkan Bias & Membangun Budaya Meritokrasi

Indra Nooyi menegaskan, kalau perusahaan benar-benar ingin meritokrasi berjalan, maka setiap orang harus diberi ruang aman untuk mengemukakan pendapat tanpa khawatir diremehkan.
Ia bahkan menegur langsung orang yang memotong pembicaraan atau memutar mata saat kolega berbicara.

Baginya, bias yang tidak disadari (unconscious bias) bisa mematikan kepercayaan diri. Kalau seseorang terus merasa diremehkan, lama-lama dia ragu pada kemampuannya sendiri. Padahal saat rasa percaya diri luntur, kompetensinya juga ikut menurun.

Nooyi percaya meritokrasi bukan hanya tentang siapa paling pintar, tapi memastikan semua talenta punya kesempatan yang sama untuk berkembang — tanpa diskriminasi gender, gaya komunikasi, atau cara berpakaian.


πŸ“Š Mengkritisi Angka: “Mana Talenta Perempuan Kita?”

Ia mencontohkan: jika 55% lulusan terbaik universitas (bahkan di bidang STEM) adalah perempuan, lalu kenapa hanya 20% pegawai baru yang perempuan?

Sebagai perusahaan consumer goods, seharusnya mereka justru menarik bagi talenta perempuan. Maka perusahaan perlu bercermin, bertanya: “Apa yang salah dalam budaya kita? Kenapa mereka enggan masuk?”


πŸ’¬ Menghadapi Bias dalam Evaluasi Kinerja

Dalam rapat evaluasi karyawan, Indra sering mendengar dua standar berbeda:

  • Kalau laki-laki, komentarnya: “Dia memang belum capai semua target, tapi potensinya besar.”
  • Kalau perempuan, sering terdengar: “Dia capai semua target, tapi saya ragu prospeknya.”

Ia langsung menahan percakapan seperti itu dan meminta alasan yang jelas. Biasanya ternyata hanya soal gaya: terlalu emosional, terlalu banyak gerak tangan, atau cara berpakaian yang tidak sesuai stereotip eksekutif laki-laki. Karena itu, penting untuk selalu menantang asumsi dan tidak menerima penilaian bias begitu saja.


🚨 Saat Hampir Mundur dari PepsiCo

Pada titik tertentu, Indra merasa tidak dihargai. Ia berkata kepada CEO saat itu, Roger:
"Setelah presentasi besok ke dewan, saya akan keluar."

Roger tidak langsung menjawab. Tapi hari itu juga, rapat mingguan yang biasa digunakan untuk ‘menghajar’ Indra dibatalkan. Esoknya Roger datang ke kantornya membicarakan perjalanan kerja berikutnya, seakan tak terjadi apa-apa. Setelah itu, perlakuan orang-orang padanya berubah drastis. Mereka tak pernah lagi membahas soal ancaman mundur itu.

Baginya, kadang perlu menegaskan batas agar budaya kerja buruk segera berhenti.


πŸ’ͺ Mengoreksi dengan Lugas tapi Manusiawi

Nooyi sendiri selalu menegur perilaku buruk secara langsung, tapi dengan cara yang ringan.
Misalnya ia berkata: “Bisa biarkan dia selesai dulu? Stop memotong.” atau “Jangan memutar bola mata, kecuali ada masalah dengan matamu.”

Cukup dua-tiga kali menegur, pesan itu menyebar ke seluruh organisasi.


πŸš€ Belajar Keberanian dari Steve Jobs

Steve Jobs memberinya pelajaran penting:

“Kalau kamu sungguh-sungguh peduli pada sesuatu, tunjukkan. Jangan takut mengembalikan pekerjaan berulang kali hingga hasilnya luar biasa.”

Indra meniru prinsip itu. Ketika desain baru PepsiCo tidak sesuai harapan, ia bilang tegas:
“Aku benci ini. Coba lagi.”
Tapi ia juga menambahkan humor agar tidak menekan tim secara emosional, misalnya, “Kalau ini dilihat konsumen, mereka akan bilang apa?”


⚙️ Jadi CEO yang Turun ke Detail

Dalam satu proyek penting, ia bahkan berkata:
"Kita harus meluncurkan produk ini dalam 6 bulan. Aku program managernya."
Orang-orang terkejut: biasanya CEO memeriksa laporan 2-3 tingkat di atas, tapi Indra justru mengelola langsung.

Ia juga menyingkirkan birokrasi. Kalau ada yang menghambat timnya, ia langsung menelpon bagian terkait untuk membuka jalan. Energi semangatnya membuat semua orang terpacu.


πŸ† Memberi Kredit pada Tim, Bukan Ambil Sendiri

Indra percaya, kalau proyek sukses, kreditnya milik tim. Kalau gagal, tanggung jawab ada di pimpinan.

“Blame flows upward, credit flows downward.”


🎯 Strategi Harus Adaptif & Bisa Diimplementasi

Menurutnya, strategi yang baik bukan hanya konsep indah di kertas. Harus bisa diimplementasikan, relevan dengan pasar, dan siap menyesuaikan kalau kondisi berubah.

Ia memberi contoh saat PepsiCo membeli kembali bisnis bottling yang dulu mereka lepas, karena perubahan pasar memerlukan integrasi lebih erat.

“Jangan terjebak dogma, kita harus adaptif.”


πŸ‘₯ Tentang Kehadiran Fisik & Remote Work

Indra mengakui WFH punya kelebihan untuk urusan keluarga. Tapi ia menilai, mentoring dan budaya perusahaan jauh lebih kuat bila orang hadir secara langsung.

“Kalau Anda hanya remote, peluang promosi bisa jadi terbatas, karena kepemimpinan banyak dibentuk lewat interaksi tatap muka.”

πŸ’– Makna Sukses

Bagi Indra, sukses bukan hanya performa tinggi, tapi juga meninggalkan tempat yang kita pimpin menjadi lebih baik dari sebelumnya.

“Performance with Purpose — berkontribusi pada perusahaan, dunia, dan membuat orang-orang di dalamnya merasa lebih baik.”

Comments

Popular posts from this blog

KUPAS TUNTAS ETERNEL THREE

KUPAS TUNTAS PURIFI THREE

THREE Mr. Les Brown - Christine Peterson and Samson Li