Kamu tidak harus menunggu kaya untuk mulai berinvestasi. Kamu harus mulai sekarang. Jadilah pemilik, bukan cuma konsumen.
Progress 10X Faster Than Everyone Else – Build Wealth, Find Purpose, Be Unstoppable | Tony Robbins
https://www.youtube.com/watch?v=cMMtD7RXMTs
Salah satu hal yang sangat saya kagumi adalah bagaimana Anda terus berkembang, terus memberikan kontribusi lebih besar, dan melayani di tingkat yang lebih tinggi. Secara stamina pribadi, apa rahasia Anda? Apa kebiasaan harian Anda untuk tetap bisa melayani setinggi itu?
Saya kira, pertama-tama ada aspek fisik. Setiap akhir pekan,
saya menjalani aktivitas yang setara dengan ultramaraton. Misalnya, dalam satu
akhir pekan saya bisa berjalan sejauh 26 mil lebih dalam sehari. Secara fisik
saya justru lebih bugar hari ini, baik dari segi ketahanan maupun kekuatan
otot, dibandingkan ketika saya berusia 25 tahun. Tapi lebih penting dari semua
itu, adalah sisi psikologis dan spiritual.
Energi tidak datang dari tubuh. Ia tidak berasal
dari makanan atau tidur.
Saya telah mengalami banyak hari tanpa tidur dan tetap bisa tampil
maksimal. Energi sejati datang dari sebuah misi. Bukan sesuatu yang kita
dorong, tapi sesuatu yang menarik kita maju. Jika kita hanya memaksa diri, itu
ada batasnya. Tapi kalau kita tertarik oleh sesuatu yang lebih besar dari diri
kita, semacam panggilan, kita bisa mengakses energi luar biasa—energi yang
bahkan kita tak tahu kita miliki. Itu tersedia untuk semua orang, hanya saja
kebanyakan dari kita tidak menyadarinya atau tidak tahu cara membangkitkannya.
Setiap hari, saya menyambungkan diri pada energi itu. Saya
tidak pernah mengambilnya begitu saja. Saya memulainya dengan proses yang saya
sebut priming. Bukan meditasi biasa, meskipun ada aspek meditatifnya. Di
pagi hari, hal pertama yang saya lakukan adalah masuk ke air panas—bisa kolam
atau jacuzzi—lalu langsung ke air dingin ekstrem. Di beberapa rumah saya, saya
cukup beruntung memiliki sungai atau kolam rendam dingin. Air es melatih sistem
saraf saya untuk berpindah dari nol ke enam puluh dalam sekejap. Ini bukan
hanya latihan fisik, tapi latihan mental dan disiplin.
Setelah itu, saya mulai priming. Minimal 10 menit. Prinsip
saya, kalau kamu tidak punya waktu 10 menit, kamu tidak punya hidup. Saya awali
dengan pola napas intens yang mengubah biokimia tubuh saya. Setelah itu, saya
tutup mata, dan masuk dalam kondisi yang dalam. Saya habiskan tiga menit lebih
untuk merasakan syukur. Bukan sekadar menyebutkan hal-hal, tapi benar-benar
merasakannya dalam tubuh saya. Saya pastikan salah satu hal yang saya syukuri
itu sangat sederhana—seperti hembusan angin di kulit, tatapan mata anak
saya—hal-hal mendasar yang membuat saya benar-benar hadir.
Setelah itu, saya mengirimkan energi penyembuhan dan
kekuatan. Saya mulai dari diri sendiri, lalu ke orang-orang di sekitar saya.
Saya membayangkan lingkaran yang meluas: keluarga, teman, rekan, orang-orang
yang saya layani. Saya tahu terdengar “klise”, tapi ini adalah bagian dari
tujuan saya hidup.
Bagian terakhir disebut Three to Thrive. Saya
bayangkan tiga hal penting yang ingin saya capai. Kadang target jangka pendek,
kadang target enam bulan ke depan. Saya tidak sekadar berpikir, saya
benar-benar merasa bahwa itu sudah tercapai. Visualisasi ini memperkuat
keyakinan saya dan menjadi bahan bakar hari itu.
Setelah itu baru saya berolahraga dan menjalankan rutinitas
lainnya.
Dari segi pola makan, saya cukup sederhana. Biasanya salad
dan protein, seperti ikan atau daging kalkun. Saya tidak makan daging merah
atau ayam. Pagi saya dimulai dengan menu ini, lalu siang dan malam pun cukup
ringan. Tapi semua berubah sejak saya bertemu istri saya, Sage—seorang
phlebotomist, ahli gizi, dan ahli akupunktur.
Saat pertama kali berkencan, saya pikir ini akan mudah—dia
pesan jus wheatgrass, saya tersenyum. Tapi kemudian dia memesan es krim hot
fudge sundae! Saya kaget. Dia berkata, “Saya sedang makan, dasar kamu kaku!”
Dia mengajarkan saya tentang keseimbangan—kadang disiplin, kadang menikmati
hidup. Saya pun belajar mengikuti ritmenya. Makan bagi saya sekarang lebih
sebagai bahan bakar. Hidup sudah cukup memberi saya "juice".
Soal tidur, istri saya mencintai tidur. Bisa tidur delapan
jam tanpa gangguan. Saya? Bagi saya, tidur itu urusan nanti, kalau sudah mati.
Dulu ini sempat jadi masalah. Bahkan ketika kami di Fiji dan seharusnya
liburan, saya tetap bangun jam enam pagi untuk lari ke gunung. Dia akan
berkata, “Kamu mau ke mana?” dan saya jawab, “Mulai hari!” Sekarang saya
belajar, kadang memulai hari dari pelukan di tempat tidur lebih baik. Saya
menyesuaikan. Saya bekerja dari ranjang, menemaninya sampai tertidur, lalu menonton
film konyol—seperti Family Guy—untuk menenangkan pikiran. Membaca malah
membuat otak saya semakin aktif. Jadi saya butuh sesuatu yang mengalihkan,
bukan menstimulasi.
Ketika saya bekerja dengan para tokoh besar—presiden, atlet
kelas dunia, investor legendaris seperti Paul Tudor Jones—persiapannya unik
untuk setiap orang. Tapi secara umum, saya ingin tahu segalanya tentang mereka
sebelum bertemu. Saya ingin tahu: Apa yang mereka inginkan? Apa tujuan mereka?
Apa yang mereka takuti? Saya percaya hidup itu terjadi di antara dua titik:
keinginan terbesar dan ketakutan terbesar. Kalau saya tahu kedua sisi itu, saya
bisa banyak memahami mereka.
Saya juga belajar dari orang-orang terdekat mereka, lalu
ketika bertemu langsung, saya serap sendiri apa yang sesungguhnya terjadi.
Umumnya, jika ingin membantu seseorang menciptakan breakthrough, itu
terkait tiga hal: strategi, keyakinan, dan kondisi emosional (state).
Kadang seseorang kehilangan strategi terbaiknya. Kadang
mereka jenuh, seperti teman saya yang punya 52 nominasi Oscar—dia berkata,
“Kalau saya bikin satu film lagi, saya bisa mati.” Dia kehilangan rasa lapar.
Saat keyakinan berubah, biokimia tubuh ikut berubah. Dan itu berdampak pada
cara mereka bertindak. Saya selalu mencari cerita yang membatasi mereka, lalu
bantu mereka melihat ulang maknanya.
Saya juga melihat state mereka. Satu tindakan yang
sama bisa hasilnya berbeda, tergantung dari kondisi emosional saat
melakukannya. Maka saya perhatikan gerak tubuh, suara, cara berpikir—semuanya.
Lalu saya bantu mereka kembali ke versi terbaik mereka, dan
lebih.
Produktivitas? Para top performer itu tidak terjebak pada
daftar tugas. Mereka fokus pada hasil (outcome), bukan aktivitas. Karena jika
hanya menjalankan daftar to-do, kita akan selalu merasa gagal. Yang saya
lakukan adalah menyusun hidup saya dalam kategori hasil yang penting, lalu saya
pastikan saya tahu mengapa saya mengejarnya. Kalau kamu tahu apa dan
mengapa, “bagaimana caranya” akan muncul.
Yang paling penting: leverage, bukan sekadar delegasi.
Kalau kamu hanya mendelegasikan, lalu hasilnya gagal, kamu akan menyalahkan
orang lain. Tapi kalau kamu leverage, kamu tetap terlibat, kamu
memastikan orang itu berhasil. Kamu beri kejelasan tentang hasil yang
diharapkan dan alasan penting di baliknya. Lalu biarkan mereka menemukan
caranya sendiri.
Dulu saya pikir saya harus menyelesaikan semua
sendiri—sebagian karena tanggung jawab, sebagian karena ego. Tapi itu tidak
berkelanjutan. Lebih baik 12 orang menyelesaikan satu masalah, daripada satu
orang mencoba menyelesaikan 12 masalah.
Saya banyak belajar dari Steve Wynn, teman saya, yang
membangun kembali Las Vegas. Dia belajar dari bellboy, dari staf yang bahkan
tidak masuk ruang rapat. Karena mereka yang tahu persis apa yang dialami
pelanggan.
Jadi, jika kamu baru memulai bisnis, kamu bisa mulai dengan trading
time. Saya dulu menukar waktu saya—dua jam membantu seseorang, lalu mereka
bantu saya dua jam. Dari situlah leverage dimulai.
Saya masih ingat jelas, waktu itu saya masih sangat muda
dalam karier. Baru saja mulai. Saya berlari ke tempat laundry untuk mengambil
dua setelan jas satu-satunya yang saya miliki. Kalau saya telat, tokonya tutup,
dan saya tidak bisa naik pesawat. Saya lari kencang, berkeringat hebat—saya
memang gampang berkeringat—berusaha masuk ke toko itu, dan saya berpikir, “Ada
yang salah di sini. Saya bisa melakukan sesuatu yang jauh lebih produktif, tapi
saya malah berdiri di antrean laundry.” Gila rasanya.
Waktu itu usia saya mungkin 17, 18, atau 19 tahun. Saya
bilang pada diri sendiri, “Saya akan mempekerjakan seseorang selama dua jam
sehari.” Awalnya dua jam, lalu jadi empat. Sejak itu, prinsip saya adalah: saya
tidak melakukan apa pun yang bisa dilakukan orang lain dengan lebih baik, dan
saya tidak melakukan apa pun yang bukan penggunaan terbaik dari waktu saya.
Tentu, ini generalisasi besar—masih ada beberapa hal yang
tetap saya lakukan sendiri. Tapi intinya, kalau kita menemukan orang yang tepat
dan kita jelas tentang hasil yang diinginkan, tujuan, dan rencana aksi
besar-besaran (saya menyebutnya RPM: Result, Purpose, Massive Action Plan),
maka kita bisa melaju lebih cepat. Rencana bisa berubah, tapi kalau RPM-nya
kuat, kendaraan akan melaju lebih cepat. Saya menerapkan itu bukan cuma untuk
diri saya, tapi juga untuk tim saya.
Sebelum kita masuk ke topik buku besar yang luar biasa ini,
saya ingin bahas sedikit soal masa-masa sulit. Banyak orang menulis ke saya,
atau berkomentar di blog, merasa sedang berada di titik jenuh. Mereka pernah
sukses, tapi seperti kata teman saya, Peter, mereka merasa: “Saya tidak ingin
ini lagi. Tapi saya juga tidak tahu mau ke mana.”
Apa pola umum dari masa-masa slump seperti itu, dan
bagaimana cara kita bangkit?
Pertama-tama, kebanyakan orang memang mengalami masa jenuh.
Hal terpenting saat itu terjadi adalah jangan marah atau stres. Stres tidak
akan menyelesaikan apa pun. Tapi juga jangan meremehkannya. Yang perlu
dilakukan adalah bertanya, “Bagaimana caranya saya bisa berpindah dari tempat
ini ke tempat yang benar-benar saya inginkan?”
Masalahnya, ketika seseorang mulai sukses, sering kali
mereka menjadi terlalu nyaman. Mereka kehilangan rasa lapar. Dan menurut saya,
rasa lapar itu adalah elemen paling penting yang membedakan tingkat kesuksesan
seseorang. Kecerdasan itu penting, tapi saya sudah melihat banyak orang cerdas
yang tidak bisa bergerak ke mana-mana. Tapi kalau seseorang punya rasa lapar
yang konsisten, mereka akan menguasai apa pun. Lihat saja para atlet atau
entertainer terbaik—mereka haus akan perbaikan terus-menerus. Energi dan
semangat mereka menular.
Masalah lain yang menyebabkan orang jatuh ke dalam slump
adalah perubahan mendadak dalam hidup mereka yang tidak mereka antisipasi.
Misalnya, seseorang sudah bekerja keras sebagai pengacara, lalu tiba-tiba
pasangannya merasa tidak bahagia. Hal-hal seperti ini mengganggu ritme, dan
kita harus bantu mereka menemukan cara untuk menang di dua bidang
sekaligus—profesional dan pribadi.
Dan satu lagi: ketika seseorang marah pada dirinya sendiri.
Seperti Tiger Woods, skill-nya tidak berubah, tapi karena konflik batin, ia
jadi seperti menghukum dirinya sendiri. Itu bentuk sabotase diri.
Sebagian besar perubahan yang saya bantu lakukan bukan hanya
di strategi, tapi pada psikologi dan emosi. Kita semua punya pikiran yang
hebat, tapi kita ini makhluk emosional. Sayangnya, kita hidup dalam masyarakat
yang lebih menghargai logika daripada emosi. Emosi itu menakutkan—bisa muncul
mendadak dan intens. Ada yang menghindarinya, ada yang tenggelam di dalamnya.
Makanya, saya lebih suka melatih yang saya sebut emotional
fitness daripada sekadar emotional intelligence. Intelligence adalah
kemampuan, fitness adalah kesiapan. Saya melatih diri agar selalu siap. Itulah
yang membuat kita bisa mengeksekusi dan menjalani hidup di level tertinggi.
Nah, mari kita bahas buku besar ini. Saya sangat terkesan
saat mendapat versi galley-nya dari timmu. Buku ini luar biasa. Saya percaya
setiap orang harus membacanya—untuk keluarga mereka, teman-teman mereka, dan
yang paling penting, untuk diri mereka sendiri. Bagian tentang pelayanan di
bab-bab akhir sampai bikin saya menangis. Saya sudah memberi highlight dari
awal sampai akhir dan sudah mempraktikkan banyak isinya.
Ini adalah buku pertamamu dalam 20 tahun. Kenapa topik ini?
Kenapa sekarang? Dan apa yang membuatnya berbeda dari buku-buku keuangan
lainnya?
Sejujurnya,
saya tidak menulis buku karena saya tidak suka menulis. Saya lebih suka acara
langsung, di mana saya bisa merespons situasi nyata, berinteraksi langsung, dan
selalu melakukan sesuatu yang baru. Tapi saya terdorong menulis karena saya
sadar, ada beberapa aspek kehidupan yang sangat menentukan kualitas hidup:
tubuh, hubungan, emosi, dan uang.
Saya tumbuh dalam kondisi ekonomi yang berat—mobil kami
pernah ditarik, kami pernah tidak punya makanan. Waktu krisis 2008, saya
melihat orang kehilangan rumah, tabungan seumur hidup, dan saya pikir,
“Pemerintah pasti akan melakukan sesuatu.” Tapi sampai 2010, tidak ada yang
berubah. Saya marah. Saya menonton semua dokumenter, membaca semua artikel, dan
film terakhir yang membuat saya tidak bisa diam adalah Inside Job. Film
itu menunjukkan siapa saja yang merusak ekonomi dunia, dan bagaimana justru
mereka yang diberi tanggung jawab membenahinya—dan dibayar lebih lagi.
Setelah nonton, saya tahu saya harus melakukan sesuatu. Saya
tahu saya bukan satu-satunya solusi, tapi saya punya akses yang unik. Banyak
orang mengenal saya sebagai motivator, padahal saya selalu jadi seorang strategist.
Klien saya seperti Paul
Tudor Jones—salah satu trader top dunia—selama lebih dari 20 tahun. Saya
belajar banyak dari dia dan dari situ saya berpikir: bagaimana jika saya tidak
hanya mewawancarai satu orang, tapi 50 otak keuangan paling cemerlang di dunia?
Saya ingin tahu, bisakah orang biasa tetap menang secara
finansial? Dan kalau bisa, bagaimana caranya?
Saya menjalani perjalanan empat tahun, dengan wawancara
panjang—ada yang sampai empat jam. Mereka membagikan strategi dan wawasan yang
belum pernah mereka bagikan ke publik sebelumnya. Semua saya susun dalam proses
tujuh langkah—baik kamu milenial dengan utang kuliah, baby boomer yang
kehilangan uang di 2008, atau investor canggih yang ingin tahu rahasia Ray
Dalio—semuanya saya jelaskan.
Satu hal yang ingin saya tegaskan adalah: keuangan
pribadi bukanlah hal yang serumit yang kita pikirkan. Industri keuangan memang
membuatnya terdengar rumit agar kita menyerahkan uang kita tanpa banyak tanya.
Tapi sistem itu bukan dirancang untuk kita sebagai prioritas utama. Sistem itu
dirancang untuk profit perusahaan.
Jadi,
langkah pertama yang harus diingat siapa pun yang mendengarkan ini: Kamu
tidak harus menunggu kaya untuk mulai berinvestasi. Kamu harus mulai
sekarang. Jadilah pemilik, bukan cuma konsumen. Jangan hanya punya
iPhone—miliki saham Apple. Investasikan, walau sedikit. Dan, otomatisasikan!
Contohnya, Theodore Johnson, supir UPS yang tak pernah berpenghasilan lebih
dari $14.000 per tahun, tapi di usia tua punya kekayaan $70 juta. Bagaimana?
Dia menyisihkan sebagian penghasilannya seolah-olah itu adalah pajak yang tak
bisa dia sentuh.
Satu-satunya Cara Menang dalam Investasi untuk Orang
Biasa
Banyak orang bilang mereka tidak bisa menabung. Tapi
kenyataannya, jika ada pajak baru, mereka pasti akan membayar. Jadi, jadikan
tabungan seperti pajak otomatis. Begitu gaji masuk, langsung sisihkan 20% ke
akun investasi, bukan ke rekening belanja. Dengan cara ini, uang itu tidak
terlihat sebagai uang yang bisa dibelanjakan. Seorang pria bernama Theodore
Johnson menerapkan ini dan menjadi multimiliuner hanya dari gaji pekerja UPS,
karena ia menabung dan menginvestasikan 20% dari pendapatannya seumur hidup.
Tapi menabung saja tidak cukup. Langkah kedua: menjadi
seorang insider — pahami aturan main di dunia keuangan. Kalau tidak,
kamu akan jadi korban dari pepatah lama: orang yang punya uang bertemu orang
yang punya pengalaman — dan akhirnya, orang yang punya pengalaman akan punya
uangmu.
Mitos Investasi yang Menyesatkan
1. "Serahkan
uangmu ke profesional, mereka pasti bisa kalahkan pasar."
Salah besar. Warren Buffett, Ray Dalio, dan David Swensen (pengelola dana Yale)
semuanya sepakat bahwa 96% manajer dana tidak bisa mengalahkan pasar dalam
jangka panjang. Kamu membayar mahal untuk hasil yang lebih buruk.
Buffett bahkan mengatakan, dalam wasiatnya, 90% uangnya akan
dimasukkan ke dalam indeks pasar (index fund), bukan reksadana aktif. Karena
biayanya rendah dan hasilnya rata-rata jauh lebih baik.
2.
"Biaya 1% itu kecil kok."
Salah lagi. Biaya kecil seperti 1% hingga 3% tampaknya sepele, tapi efeknya
luar biasa besar karena biaya juga mengalami compounding. Jika tiga
orang berinvestasi $100.000 dan mendapat return 7% per tahun selama 30 tahun:
o Biaya
1%: hasil akhir = $574.000
o Biaya
3%: hasil akhir = $224.000
Selisih 77% hanya karena biaya. Jadi, kalau kamu punya dua
pilihan investasi identik, tapi satu biaya 0.17% (seperti Vanguard S&P 500
index fund) dan satunya 3.17% (reksadana aktif), itu ibarat beli mobil Honda
Accord seharga $20.000 atau $350.000.
3. Strategi
"All-Weather" dari Ray Dalio
Ray Dalio, pendiri Bridgewater (hedge fund terbesar di dunia, kelola dana $160
miliar), punya strategi investasi yang ia sebut All-Weather Portfolio.
Ini bukan untuk jadi kaya cepat, tapi untuk tahan dalam segala kondisi pasar.
Dia mengujinya sejak tahun 1925, dan hasilnya:
o Memberikan
keuntungan 85% dari waktu
o Rata-rata
kerugian hanya 1.6%
o Kerugian
terburuk dalam 75 tahun hanya -3.5% (saat pasar anjlok 51% pada 2008)
o Rata-rata
return hampir 10%
Strategi ini sangat cocok untuk investor biasa karena tidak
menggunakan leverage dan hanya butuh perhatian 15 menit per tahun.
Kenapa Tony Menulis Buku Ini
Tony Robbins memutuskan untuk menyumbangkan semua keuntungan
dari bukunya. Bukan sebagian, tapi 100%, dan bahkan disumbangkan di
muka — sebelum tahu apakah bukunya akan laris atau tidak. Tujuannya? Untuk
memberi makan 50 juta orang, bekerja sama dengan Feeding America, dan
berharap bisa menciptakan dampak nyata.
Semua ini terinspirasi dari masa kecilnya, ketika
keluarganya kelaparan saat Thanksgiving dan seorang asing membawa makanan ke
rumah mereka. Sejak saat itu, ia berjanji akan "membayar kembali"
kebaikan itu.
Inti dari semuanya?
- Otomatiskan
tabungan dan investasi.
- Hindari
reksadana aktif mahal.
- Pahami
strategi investasi jangka panjang seperti portofolio Ray Dalio.
- Biaya
kecil = dampak besar dalam jangka panjang.
- Gunakan
uangmu untuk memberdayakan, bukan membebani.
Jika kamu hanya bisa melakukan satu hal: alihkan uangmu
dari reksadana mahal ke index fund biaya rendah hari ini.
Comments
Post a Comment