POPPY SODA
https://www.youtube.com/watch?v=T55DEyVq6vI
How Allison Ellsworth Built Poppi Into a Billion-Dollar
Brand | Aspire with Emma Grede
Introduction
Allison Ellsworth membangun sebuah kerajaan minuman soda
modern dari nol. Tanpa peta jalan, hanya bermodal kerja keras, TikTok, dan
keteguhan hati. Ia kemudian menjual bisnisnya seharga $1,9 miliar ke
Pepsi—sebuah exit penuh dari perusahaan yang ia mulai dari meja dapurnya
sendiri.
Bagaimana sebenarnya memulai bisnis minuman? “Kami adalah
minuman dengan pertumbuhan tercepat kedua dalam sejarah industri minuman,”
katanya. Perjalanannya penuh tantangan, bahkan kontroversi. Namun ia tetap
yakin, “Aku pantas ada di sini.”
Dari pasar petani hingga kesepakatan miliaran dolar
bersama PepsiCo, perjalanannya penuh rasa—antara kegembiraan, ketakutan, dan
keberanian. "Poppy adalah aku, tapi aku bukan orang yang hebat dalam
urusan proses," ujar Allison. "Aku bahkan mungkin tidak seharusnya
yang menjalankan laporan keuangan, walau aku tahu cara membacanya."
Banyak orang berpikir ada ‘rahasia’ khusus untuk sukses.
Menurutnya, semuanya kembali ke orangnya—wiraswasta, ide, gairah, dan
kegigihan. Di episode ini, Allison membagikan langkah-langkah, angka
sesungguhnya, dan apa yang benar-benar dibutuhkan untuk mengembangkan bisnis.
Hanya di podcast Aspire.
“Saya adalah satu-satunya pendiri perempuan di industri
minuman yang pernah melakukan exit sebesar ini.” Apakah ia akan kembali ke
dunia startup? Mungkin.
Starting a Small Business
Allison sangat antusias berbagi cerita. Ia tahu banyak
pendengar podcast ini sedang memikirkan ide bisnis—membayangkan apakah mereka
bisa memulainya sendiri. Itulah yang dulu ia lakukan: memulai dari masalah
pribadi, menciptakan solusi, lalu membangun bisnis yang akhirnya dijual.
Apa nasihatnya bagi mereka yang masih ragu? “Hal paling
dasar adalah: kamu harus langsung lakukan saja. Banyak orang menunggu momen
sempurna—padahal itu tidak pernah ada.”
Allison mengenang masa awal saat ia benar-benar tidak
tahu apa pun. “Naivitas itu justru kekuatan. Tidak ada rasa takut, kamu hanya
loncat dan percaya.” Kini setelah tahu lebih banyak, ia justru merasa lebih
sulit memulai kembali.
“Orang mengira ada formula ajaib, padahal semuanya
tentang manusianya. Itu tentang kamu sebagai wiraswasta, ide kamu, semangat dan
kerja kerasmu.”
Host menyamakan memulai bisnis dengan punya anak: tak ada
waktu yang benar-benar tepat. Kamu hanya perlu memutuskan dan jalan. “Lalu kamu
lupa semua susahnya, dan ingin mulai lagi.”
Growing Up Around Entrepreneurs
Allison tumbuh di lingkungan keluarga yang penuh dengan
pengusaha. Namun, ia tak pernah secara pasti tahu bahwa ia akan menjadi
pebisnis. Ia hanya tahu satu hal: ia tak suka diperintah. “Kalau kamu merasa
seperti itu, duduk di kubikel bukan untukmu.”
Ayah dan saudara perempuannya adalah pengusaha. Sang ayah
bahkan pernah menghasilkan $30 juta per bulan di industri minyak dan gas saat
booming, lalu kehilangan semuanya, dan bangkit lagi.
“Saya suka membangun bisnis, bukan karena uang. Kalau
uang jadi motivasi utama, kamu kehilangan semangatnya. Tapi ya, uang memang
luar biasa.”
Meski sang ayah pernah sangat sukses, Allison tetap
membiayai hidupnya sendiri sejak usia 18 tahun—termasuk mobil, sewa rumah,
hingga kuliah. Bahkan sampai hari ini, ia masih mencicil pinjaman mahasiswa.
Orang tuanya bercerai sejak ia kecil. Ia dibesarkan oleh
ibu tunggal dan melihat sendiri kerasnya hidup. Itulah yang membuatnya terbiasa
bekerja keras sejak dini.
Poppi’s Origin Story
Kisah Poppy dimulai saat Allison mengalami masalah
kesehatan. Saat bepergian, ia kesulitan menemukan makanan yang cocok untuk
tubuhnya. Ini sebelum tren makanan sehat dan gluten-free menjadi umum. Ia mulai
mengonsumsi cuka apel, tapi rasanya sangat tidak enak.
“Saya pikir, ini tidak bisa dipertahankan.” Jadi ia mulai
bereksperimen di dapur. Saat itu ia berusia sekitar 30 tahun, belum hamil, dan
merasa tidak layak membawa kehidupan baru ke dunia jika tubuhnya tidak sehat.
Sekitar tiga bulan setelah mengubah pola hidup, ia hamil.
Saat itu ia masih bekerja di bidang riset minyak dan gas—mengelola proyek
jutaan dolar sendirian di berbagai daerah terpencil.
Namun ia tidak ingin kembali ke lapangan dalam kondisi
hamil. Jadi ia mulai menjual minumannya—yang kala itu masih bernama Mother
Beverage—di pasar petani. Awalnya hanya sebagai hobi. Tapi karena sangat
antusias, ia ingin sebanyak mungkin orang mencobanya.
How to Actually Make a Drink
Bagaimana caranya benar-benar membuat minuman? Di sinilah
banyak orang tersandung. Mereka langsung menghabiskan tabungan atau utang untuk
menyewa lab dan membuat produk yang bahkan belum mereka kuasai sendiri.
Allison memilih jalan berbeda. Ia mengandalkan Google.
“Saya cari bahan-bahannya, beli timbangan, bahan-bahan food grade, dan soda
stream. Lalu pergi ke toko bangunan lokal, beli tong-tong besar, dan mulai
produksi sendiri.”
Allison dan suaminya benar-benar memindahkan ranjang tamu mereka demi membuat ruang produksi kecil di rumah, tempat mereka menyimpan tong-tong cuka. Hanya mereka berdua yang mengerjakan semuanya. Mereka mencari informasi di Google, membeli bahan-bahan sendiri, lalu mencoba mencampur dan mencicipi sampai rasanya benar-benar enak.
Suatu hari saat pulang untuk perayaan Thanksgiving,
Allison membawa minumannya dan memperkenalkannya ke keluarganya. Reaksi awal
ibunya cukup skeptis, "Kamu mau aku minum cuka? Kamu gila?" Tapi
saudaranya mau mencoba dan justru memberinya validasi yang sangat dibutuhkan:
“Ini enak, kamu tidak gila.”
Beberapa minggu kemudian, saat menjual produknya di pasar
petani, tim dari Whole Foods mampir ke booth mereka. Mereka bilang, “Kami belum
pernah lihat produk seperti ini di Whole Foods.” Saat itulah Allison sadar
bahwa ini bukan sekadar hobi—ini bisa menjadi bisnis nyata. Dia menoleh ke
suaminya dan berkata, “Kita pakai seluruh tabungan hidup kita. Kita buka
fasilitas produksi sendiri. Kita all in.”
Suaminya sempat ragu—mereka baru saja membeli rumah dan
saat itu Allison sedang hamil tiga bulan. Tapi mereka tetap mengambil keputusan
berani. Mereka menginvestasikan sekitar $90.000, jumlah yang sangat besar bagi
mereka waktu itu. Dengan modal tersebut, mereka mulai meningkatkan kualitas
produksi. Seorang teman yang memiliki pabrik bir membantu mereka mengatur
proses pembuatan dengan standar industri. Mereka mengurus sertifikasi dan mulai
produksi yang legal dan layak masuk pasar retail.
Allison dan suaminya masih menjadi satu-satunya orang di
tim mereka saat produk mereka masuk ke Whole Foods. Mereka memproduksi selama
hari kerja dan menjual di pasar petani setiap akhir pekan untuk menutupi biaya
hidup. Suaminya bahkan masih bekerja di pekerjaan kedua. Allison sendiri sempat
mengalami kontraksi di jalur produksi, melahirkan anak pertama, lalu kembali
bekerja hanya dua minggu kemudian—dengan bayinya diikat di tubuhnya.
Setelah sekitar sepuluh bulan, mereka akhirnya
mempekerjakan staf pertama untuk membantu produksi secara penuh waktu. Ketika
bisnis mulai stabil dan menunjukkan potensi nyata, langkah selanjutnya terasa
jelas: tampil di acara Shark Tank.
Mereka memutuskan mendaftar lewat jalur terbuka,
mengikuti audisi di Dallas setelah melihat pengumuman dari Mark Cuban di
Instagram. Itu adalah kali pertama Allison menggunakan jasa babysitter—dan saat
itu, ia juga sedang hamil tiga bulan anak kedua. Mereka antre selama delapan
jam. Ketika akhirnya bertemu dengan produser, mereka langsung dibilang, “Kalian
akan melaju jauh.”
Prosesnya memakan waktu sekitar enam bulan, dan ketika
waktunya tampil tiba, Allison sudah hamil sembilan bulan. Ia tetap
melanjutkan—bahkan syuting hanya sepuluh hari sebelum melahirkan. Ia sempat
khawatir akan melahirkan di belakang panggung, tapi berhasil tampil dengan
tenang. Produser pun mungkin menganggap itu akan jadi TV yang menarik kalau ia
benar-benar melahirkan saat syuting.
Saat tampil di Shark Tank, mereka sudah dalam
posisi sangat membutuhkan dana tambahan. Mereka sangat fokus: mereka datang
untuk mendapatkan investasi, dan tidak akan keluar tanpa hasil. Mereka akhirnya
mendapatkan kesepakatan sebesar $400.000 untuk 25% saham perusahaan. Pada saat
itu, mereka bahkan tidak terlalu memikirkan valuasi atau angka—mereka hanya
sangat bersemangat.
Yang mengejutkan, mereka tidak tahu siapa investor yang
akan mereka hadapi. Ternyata, investor mereka adalah Rohan Oza—salah satu figur
penting di dunia brand minuman. Rohan langsung menyampaikan pujian atas cerita
dan produk mereka, namun juga menyentil branding mereka yang masih lemah.
Allison setuju—“Kamu benar.”
Itu adalah titik balik besar. Banyak pengusaha terlalu
fokus pada produk dan mengabaikan brand. Padahal brand adalah jembatan
emosional yang menghubungkan produk dengan konsumen. Sejak saat itu, mereka
berhenti mengurus produksi sendiri dan mulai fokus pada pengembangan brand dan
pemasaran.
Allison menyadari, “Kamu bisa memperbaiki brand. Kamu bisa ubah kemasan, ubah nama, dan tetap berkembang. Tapi kalau produkmu tidak disukai orang, semuanya selesai.”
Biasanya, bahkan brand terbaik pun bisa mengalami
penurunan jika tidak didukung dengan produk yang hebat. Tapi kalian punya
produk yang luar biasa dan bahkan menciptakan kategori baru sejak awal.
Ketika berbicara soal investasi, itu topik yang menarik.
Kamu sempat menyebut bahwa kamu tahu harus mencari investor yang tepat, bukan
sekadar "uang bodoh". Bagaimana kamu memandang hubungan dengan
investormu? Seperti apa sekarang relasinya? Apakah kamu merasa perlu mengikuti
semua nasihat mereka? Bagaimana hubungan itu terbentuk sejak awal?
Jujur saja, awalnya berjalan sangat baik. Saya merasa
Rohan benar-benar berinvestasi pada kami sebagai founder dan pada produknya.
Tentu saja, karena itu uangnya, dia punya banyak pengaruh. Tapi kami sempat
mengambil waktu sekitar sembilan bulan setelah tampil di acara kami untuk
melakukan rebranding.
Apa kamu merasa gugup waktu itu, mengingat momentum yang
sudah kalian bangun?
Kami sangat takut ketika memutuskan untuk rebranding.
Awalnya kami bernama Mother Beverage. Dalam prosesnya kami
bertanya-tanya, apakah harus tetap menyisipkan referensi nama lama? Bahkan
sempat terpikir menamai ulang jadi Mom and Pop, tapi kini terasa sangat
cheesy—lucu, tapi kurang tepat. Akhirnya kami memilih nama Poppy,
permainan kata dari soda pop, dan kami benar-benar membangun misi untuk
merevolusi soda bagi generasi baru. Kami ingin memberi kebebasan kepada
orang-orang untuk menyukai soda lagi—sebuah pesan yang lebih emosional dan
besar dibanding hanya sekadar "minuman cuka apel".
Selama sembilan bulan itu kami melakukan rebranding
total. Awalnya kami pakai kemasan putih—yang biasanya diasosiasikan dengan
sehat—lalu kami beralih ke warna-warna cerah yang lebih menyiratkan kesenangan.
Semua pekerjaan itu dilakukan oleh saya, Rohan, suami saya Steven, dan satu
orang lagi, Stevie. Hanya kami berempat. Lalu kami meluncurkan Poppy pada Maret
2020, tepat saat COVID melanda. Saat itu, tim kami hanya saya, suami saya, dan
dua karyawan.
Gila. Bagaimana sambutannya?
Itu minggu pertama pandemi, sangat menegangkan. Tapi saya
akan bilang, itu pertama kalinya seluruh dunia benar-benar mulai memikirkan
kesehatan dan kebugaran. Orang-orang mulai membaca label produk, dan mereka
datang ke toko untuk mencari produk yang tahan lama, bisa disimpan, dan cocok
untuk stok rumah. Pada bulan berikutnya, pembaruan kami ditayangkan di Shark
Tank, dan sejak itu penjualan kami meledak.
Seberapa meledak? Ceritakan detailnya, saya penasaran!
Pertumbuhan kami benar-benar luar biasa. Tahun pertama
kami membukukan sekitar $2 juta dalam pendapatan. Tahun kedua $20 juta, lalu
$50 juta, $200 juta, dan $500 juta. Kami mengalami pertumbuhan tiga digit dari
tahun ke tahun.
Itu luar biasa! Kami adalah brand minuman dengan
pertumbuhan tercepat kedua dalam sejarah industri minuman. Dan saya adalah
satu-satunya pendiri perempuan di industri minuman yang berhasil melakukan exit
sebesar ini. Banyak pencapaian pertama yang kami raih, dan semuanya sangat
menggembirakan.
Jujur, waktu kamu melakukan exit itu adalah minggu yang
sama saat kami meluncurkan podcast ini, dan saya langsung berpikir, “Kita harus
undang dia.” Karena apa yang kamu lakukan benar-benar luar biasa. Kategori itu,
produk itu, kamu menciptakan sesuatu yang belum ada sebelumnya. Kamu membuka
mata dunia terhadap kategori ini dan kemungkinan yang bisa terjadi.
Orang-orang tidak menyadari, saat memulai bisnis, kami
benar-benar menciptakan kategori yang belum ada di toko-toko lima tahun lalu.
Kategori itu sekarang dikenal sebagai modern soda set. Ketika kami
pertama kali masuk ke toko, mereka bingung mau menempatkan kami di mana. Mereka
bilang, “Kami taruh kamu di sparkling water, atau enhanced water.” Tapi kami
bersikeras, “Kami ini soda.”
Butuh waktu empat tahun untuk meyakinkan mereka. Iklan
Super Bowl kami sangat membantu—kami menyebut kata “soda” sekitar 17 kali di
dalamnya. Hanya iklan Super Bowl, santai aja, gitu ya. Tapi itu berhasil
mempertegas posisi kami sebagai soda generasi baru. Semua itu
benar-benar direncanakan dengan matang.
Saya selalu bilang, meskipun kamu sedang membangun bisnis lilin, jadilah produsen lilin terbaik yang pernah ada. Mungkin kamu perlu membuatnya sedikit lebih baik, sedikit berbeda, tapi pada akhirnya, tekunlah pada brand dan strategi pemasaranmu. Apa yang kami bangun benar-benar spesial.
Komitmen kami untuk memperkecil kesenjangan gender dalam
sains kesehatan dan performa sangat penting. Gunakan kode Emma di momentous.com untuk diskon hingga 35% pada
pembelian pertama kamu.
Ngomong-ngomong soal membangun brand, kalian benar-benar
luar biasa dalam hal pemasaran dan penguasaan ruang di media sosial. Bisa
cerita sedikit tentang strategi brand dan marketing kalian? Karena menurutku,
bukan cuma produknya yang luar biasa dan berhasil menciptakan kategori baru,
tapi pendekatan kalian di media sosial juga sangat inovatif.
Sangat menarik, karena waktu kami memulai, semua playbook
marketing tradisional sudah nggak relevan lagi—terutama karena pandemi. Kita
nggak bisa ketemu langsung dengan konsumen, nggak bisa adakan acara, nggak bisa
bagi-bagi sampel. Cara komunikasi juga berubah total. TikTok, misalnya,
benar-benar mengubah cara konsumen berinteraksi. Mereka lebih autentik, jujur,
dan terbuka.
Kami sebenarnya lahir dari perubahan itu. Aku mulai
menggunakan TikTok lebih awal, bukan untuk pribadi, tapi langsung untuk brand.
Kami adalah salah satu brand pertama yang aktif di TikTok. Waktu itu aku bilang
ke tim, “Hei, kita harus coba ini.” Tapi semua orang skeptis, termasuk investor
kami, Rohan. Aku bilang, “Oke, aku akan lakukan ini malam dan akhir pekan saja,
tanpa mengganggu bisnis inti.”
Selama tiga bulan, aku sendiri yang pegang akun TikTok
Poppy. Aku bikin konten dansa, resep, video ngobrol langsung ke kamera—apa pun
yang bisa diposting. Sampai akhirnya, satu malam aku duduk, tanpa makeup,
rambut masih basah, dan aku cerita tentang perjalanan kami. Aku tekan
"post", tidur, dan pagi harinya kami kebanjiran pesanan—penjualan
$100.000 hanya dari Amazon. Rak-rak di toko juga kosong. Orang-orang langsung
sadar, “Wow, ini medan yang benar-benar baru.” Sejak itu, kami mengalihkan anggaran
marketing ke TikTok.
Sekarang, total tayangan konten kami di TikTok hampir 3
miliar, dan sepertiga pengguna platform itu sudah melihat wajahku tujuh kali.
Itu luar biasa! Gimana rasanya tahu sepertiga pengguna
TikTok udah sering banget lihat wajahmu?
Jujur aja, kadang aku bertanya-tanya itu hal bagus atau
menyebalkan, haha. Tapi buat bisnis, itu jelas hebat. Dulu saat aku memulai,
semua orang masih fokus di Facebook, lalu migrasi ke Instagram karena biaya
iklan di Facebook makin mahal. Tapi TikTok? Banyak brand ragu masuk karena
kontennya spontan, nggak bisa direncanakan seperti Instagram. Tapi kami embrace
itu—dan justru di situlah letak kekuatannya.
Kami sadar betul tiap platform punya fungsi sendiri.
Instagram ibarat website modern. Facebook untuk audiens yang lebih dewasa—yang
juga kami cintai. Tapi TikTok? Tempat buat jadi unhinged, tiga posting sehari,
bisa viral kapan saja.
Dulu kami bisa membangun komunitas loyal di sana. Mereka
mengikuti kami sejak awal dan jadi bagian penting dari brand kami. Kami bisa
bergerak secepat budaya berubah. Dan menurutku, itu juga yang bikin Pepsi
tertarik—karena kami terhubung langsung dengan generasi baru peminum soda, Gen
Z.
Menurutmu, kamu sadar sedang bikin sesuatu yang luar
biasa di TikTok, atau kamu cuma ngikutin naluri sebagai pemilik brand milenial?
Aku rasa kami adalah salah satu brand pertama yang
benar-benar serius di TikTok—tapi dalam keseriusan itu, kami tetap nggak
terlalu serius sama diri sendiri. Kami paham kapan harus profesional, kapan
bisa santai. Dan meskipun sekarang semua brand sudah hadir di TikTok, kami
bangga karena di awal kami benar-benar membangun komunitas dan reputasi dari
sana.
Tapi jujur, sekarang semua sudah lebih rumit. Ada batasan
soal musik, hak cipta, dan ya… makin dewasa bisnis, makin banyak juga tanggung
jawab hukum. Tapi itu mendorong kami untuk lebih kreatif dengan konten. Dan aku
selalu bilang ke brand baru: TikTok itu murah dan powerful. Kamu nggak harus
jadi wajah brand sendiri, tapi kamu harus hadir di sana, atau rekrut
orang yang bisa. Jangan anggap enteng TikTok. Banyak orang kira itu akan
menghilang—nyatanya, nggak.
Waktu sempat ada ancaman TikTok akan diblokir, kamu panik
nggak?
Banget! Aku bahkan buka wine, duduk sambil download semua
video. Suamiku bilang, “Bantuin anak tidur, dong.” Aku jawab, “Nggak bisa, ini
malam terakhir TikTok!” Tapi besok paginya aku mikir, “Oke, itu dramatis
banget.” Tapi intinya, kalau pun TikTok benar-benar hilang, komunitas kami akan
tetap bersama kami di platform lain. Yang penting adalah hubungan, bukan
platformnya.
Aku sempat baca kalau kalian bikin 50 sampai 100 konten
per bulan. Bener nggak?
Iya, bener banget. Tapi brand kami sekarang udah nggak
tergantung total pada TikTok. Kami udah punya iklan TV, kampanye Super Bowl,
bahkan meluncurkan lini pakaian dengan Target. Brand soda mana yang ngelakuin
itu semua? Kami juga punya event pop-up untuk komunitas. Tapi tetap, digital
harus jadi prioritas utama.
Menurutmu, banyak brand terlalu mengandalkan marketing
dan lupa soal distribusi, ya?
Betul banget. Di awal, selama empat tahun pertama, fokus
kami adalah brand awareness. Sekarang awareness kami sudah di atas 50%
di Amerika. Tantangannya sekarang adalah membangun brand recall—supaya
orang nggak cuma tahu Poppy, tapi juga ingat dan beli.
Dengar kamu bilang angka-angka besar itu, kamu bangga
nggak?
Sebagai pebisnis? Aku selalu berpikir, “Oke, harus lebih
lagi.” Aku ingin Poppy sebesar Pepsi. Aku nggak pernah merasa selesai. Ambisi
itu belum padam. Aku masih lapar dan suka banget turun langsung menyelesaikan
masalah. Tim kami banyak yang udah bareng sejak awal, dan itu luar biasa
banget.
Sebelum kita bahas akuisisi oleh Pepsi, aku pengin tahu
soal investasi—karena itu bagian penting dari perjalanan kamu. Gimana rasanya
menerima investasi? Apa yang sebenarnya kamu korbankan?
Cerita kami cukup unik—kami cuma punya satu investor
besar. Jadi kami bisa fokus pada bisnis, bukan keliling cari dana. Kalau kamu
kehilangan momentum karena kekurangan dana, lalu harus bangun momentum itu
lagi—itu sulit banget. Tapi karena kami punya investor yang selalu siap
mendukung, kami bisa terus melaju.
Kami memang harus menyerahkan sebagian kontrol sejak
awal. Rohan punya porsi saham yang signifikan. Dan meskipun kami semua
terdilusi, itu bagian dari perjalanan. Jujur, Poppy itu aku banget—semua ide,
visi, nuansa brand keluar dari aku. Tapi aku juga sadar, aku bukan orang yang
paling jago di proses operasional.
Makanya kami membawa CEO di tahun kedua, lalu CMO setahun
kemudian. Banyak founder yang takut kehilangan posisi atau digeser. Tapi karena
aku terlibat langsung dalam proses itu—meskipun banyak momen berat dan air
mata—aku tetap merasa punya peran penting dalam perkembangan bisnis.
Itu keputusan paling sulit sekaligus terbaik yang pernah
aku ambil. Dan pesan aku ke semua entrepreneur adalah: jangan lawan prosesnya.
Ikutlah dalam percakapan, terbukalah pada pertumbuhan, dan tahu kapan saatnya
mempercayakan sebagian ke orang lain.
Kalau kamu mau versi yang lebih singkat, formal, atau
storytelling, aku juga bisa bantu menyesuaikan. Mau dilanjut ke bagian akuisisi
oleh Pepsi?
Salah satu hal terpenting yang saya pelajari adalah
pentingnya menyadari apa yang tidak kita ketahui. Tidak ada orang yang ahli
dalam segala hal. Alasan mengapa saya bisa membangun bisnis ini dan pada
akhirnya sukses melakukan exit adalah karena saya fokus. Saya tahu persis apa
yang hanya bisa saya lakukan, dan saya mengelilingi diri saya dengan
orang-orang yang ahli dalam hal-hal yang bukan keahlian saya.
Memang kelihatannya sederhana, tapi secara emosional itu
tidak selalu mudah, terutama soal ego. Namun, dengan cara itulah saya tetap
bisa menjalankan peran kreatif saya sepenuhnya—mengurus brand, budaya
perusahaan, media sosial—hal-hal yang saya cintai dan yang punya dampak besar
terhadap pertumbuhan brand. Itu keputusan terbaik yang pernah saya ambil.
Kalau bisa mengulang dari awal, apa yang akan kamu
lakukan berbeda?
Saya rasa saya akan lebih cepat percaya diri pada intuisi
saya sendiri. Saat bisnis tumbuh dan semakin banyak orang masuk, mudah sekali
kehilangan suara dan arah. Saya sempat merasa tersesat selama beberapa tahun.
Ada keputusan pemasaran yang rasanya tidak pas, tapi saya tetap percayakan ke
orang lain karena saya pikir mereka lebih tahu. Tapi ternyata, sebagai
pemimpin, kita tetap harus memastikan tim tetap berada di jalur yang benar.
Jadi, saya akan lebih percaya pada suara hati saya
sendiri sejak awal. Dan ya, kalau saya melakukannya lagi—dan saya yakin suatu
hari akan—saya pasti akan melibatkan suami saya lagi. Kami saling melengkapi.
Dia jago di sisi bisnis, saya kuat di sisi brand dan kreativitas. Kami tim yang
hebat.
Kesalahan lain yang saya sadari adalah kami terlalu
lambat membentuk tim. Kami mungkin tidak tahu kapan harus merekrut, atau
mungkin belum punya dana saat itu. Tapi sekarang saya tahu lebih baik, dan
punya lebih banyak sumber daya. Jadi, ke depan, saya pasti akan bangun tim
lebih cepat.
Kamu sempat menyebut kehilangan suara saat banyak
investor dan manajemen senior mulai masuk. Bagaimana kamu bisa mendapatkan
kembali kendali?
Itu proses yang sangat sulit. Saya benar-benar harus
mundur sejenak dan membiarkan mereka melihat hasil dari keputusan mereka. Saya
tidak bisa terlalu memaksa atau terlihat “ngotot” karena itu justru membuat
mereka semakin menyingkirkan saya. Jadi saya diam dan membiarkan semuanya
berjalan. Ketika hasilnya mulai bermasalah, justru beberapa orang mulai meminta
saya untuk kembali lebih aktif.
Saya juga menyadari kalau saya tidak bisa terus-terusan
merasa stres. Saya butuh bantuan. Jadi saya bekerja sama dengan seorang
business coach. Sebelumnya saya coba terapi, tapi yang saya butuhkan adalah
seseorang yang bisa bertanya langsung: “Apa yang kamu inginkan dalam hidupmu?”
Pelatih ini membantu saya menemukan kembali suara saya, membantu saya jadi
pemimpin yang lebih baik, istri yang lebih baik, dan ibu yang lebih baik.
Saya sempat kelelahan. Saya tidak hadir untuk anak-anak,
tidak punya energi, mudah marah, dan bahkan suami saya bilang, “Aku tidak kenal
kamu lagi.” Tapi setelah melalui proses coaching itu, saya merasa jauh lebih
baik dan lebih seimbang.
Tentang “work-life balance”, saya sebenarnya tidak
percaya itu ada. Saya dan suami membuat kesepakatan sejak awal. Kami hanya akan
fokus pada tiga hal: pernikahan, bisnis, dan anak-anak. Saya bilang, "Saya
tidak akan mempermasalahkan Valentine, ulang tahun, atau kencan malam. Kita
fokus ke hal-hal yang lebih besar." Dan ketika kami punya momen bersama,
itu jadi terasa lebih spesial.
Saya juga tetap berusaha jadi ibu yang normal. Ya, saya
punya uang sekarang, tapi saya masih antar anak ke latihan sepak bola dan
baseball. Anak-anak saya kadang berlarian tanpa sepatu dan saya tetap seperti
ibu-ibu biasa, bertanya, “Mana sepatumu?”
Tentu saja ada pengorbanan. Saya lebih sering bepergian
dibanding suami saya, tapi kami punya sistem pendukung yang kuat—ibu saya,
suami saya—dan kadang kami bawa anak-anak ikut ke event. Kalau saya tahu akan
ke New York, kami datang sehari lebih awal, mungkin sekalian liburan kecil.
Intinya: jangan terlalu menyalahkan diri sendiri. Lepaskan rasa bersalah itu.
Tentang “self-care”, saya bahkan tidak tahu apa artinya.
Setelah kami menjual perusahaan, saya bisa olahraga tujuh kali dalam dua
minggu—sesuatu yang belum pernah saya lakukan selama dua tahun sebelumnya. Tapi
saya menerima semua trade-off itu karena saya yang memilihnya. Itu membuat
semuanya lebih mudah untuk diterima.
Saya juga orang yang sangat self-aware. Kalau ada sesuatu
yang tidak beres, saya langsung hadapi. Beberapa orang bilang saya terlalu
blak-blakan, tapi saya rasa itu justru mempercepat segalanya. Dalam hidup dan
bisnis, saya tidak membiarkan hal-hal terjadi begitu saja. Saya membuatnya
terjadi.
Menurut saya, salah satu hal yang membuat saya berhasil
adalah kombinasi kejelasan visi, kejujuran, dan empati. Saya tahu apa yang saya
inginkan. Saya bersikap langsung. Tapi saya juga punya hati dan peduli pada
orang-orang di sekitar saya. Dan saya selalu berusaha tetap jadi manusia yang
nyata, bukan hanya pemilik bisnis.
Jika kamu ingin versi ini disingkat, diformat ulang jadi
artikel, atau diubah ke bentuk wawancara Q&A, aku bisa bantu juga.
Biasanya, bahkan brand terbaik pun bisa gagal jika tidak
memiliki produk yang kuat. Tapi kamu bukan hanya memiliki produk hebat—kamu
menciptakan kategori baru dari awal.
Waktu kamu menyebut soal investasi tadi, saya penasaran.
Kamu sempat bilang kamu tahu kamu harus mencari investor yang tepat, bukan
sekadar “uang bodoh.” Bisa ceritakan lebih jauh soal hubunganmu dengan para
investor? Apakah kamu merasa harus mengikuti semua saran mereka? Dan bagaimana
kamu membangun hubungan itu dari awal?
Jujur saja, awalnya semuanya berjalan baik. Saya merasa
Rohan benar-benar berinvestasi pada kami sebagai founder dan percaya pada
produk kami. Tapi tentu saja, karena dia menaruh uang di situ, dia punya
pengaruh besar. Setelah tampil di acara kami, butuh waktu sekitar sembilan
bulan bagi kami untuk benar-benar melakukan rebranding.
Apakah kamu sempat merasa khawatir soal momentum yang
sudah kamu bangun sebelumnya?
Oh, kami sangat ketakutan. Waktu itu nama kami masih Mother
Beverage. Kami bingung, apakah perlu tetap mempertahankan bagian dari nama
itu? Sempat juga terpikir nama seperti Mom and Pop, tapi lama-lama
terasa cheesy dan tidak relevan. Akhirnya kami memilih nama Poppy—dari
kata “soda pop”—dan benar-benar menyusun ulang misi kami: merevolusi soda untuk
generasi berikutnya. Kami ingin memberi orang alasan untuk menyukai soda lagi.
Itu jauh lebih kuat dan emosional dibanding sekadar “minuman cuka apel.”
Selama sembilan bulan itu, kami melakukan rebranding
total. Awalnya kami pakai kemasan putih karena diasosiasikan dengan kesehatan.
Tapi kemudian kami sadar bahwa kami ingin menekankan unsur “menyenangkan” dalam
produk ini—jadi kami ubah jadi warna-warna cerah. Semuanya kami kerjakan hanya
berempat: saya, suami saya Steven, Rohan, dan Stevie. Kami luncurkan kembali
brand ini sebagai Poppy pada Maret 2020.
Waktu itu timmu hanya empat orang?
Bahkan hanya dua karyawan saat kami launching ulang. Saya
dan suami saya, dan dua staf.
Wow. Dan itu tepat saat pandemi COVID-19 dimulai?
Iya, minggu pertama pandemi. Benar-benar menakutkan. Tapi
ternyata, justru di saat itu dunia mulai sadar pentingnya kesehatan.
Orang-orang mulai membaca label makanan dan minuman. Mereka mencari produk yang
bisa disimpan di rumah dan tetap sehat. Lalu sebulan setelah itu, episode kami
di Shark Tank ditayangkan ulang, dan saat itulah semuanya meledak.
Meledak seberapa besar?
Waktu itu penjualan langsung melonjak luar biasa. Tahun
pertama kami mencetak pendapatan sekitar 2 juta dolar. Tahun berikutnya naik
jadi 20 juta. Lalu 50 juta, 200 juta, dan tahun ini kami menembus 500 juta
dolar. Kami tumbuh lebih dari 3 digit setiap tahunnya.
Itu sangat luar biasa. Apalagi mengingat kamu adalah
satu-satunya pendiri perempuan di industri ini yang berhasil melakukan exit
sebesar itu.
Iya, benar-benar perjalanan luar biasa. Banyak “pertama”
yang kami capai—pertama dalam kategori, pertama di Super Bowl sebagai produk
fermentasi, dan masih banyak lagi. Dan saya sangat bangga akan hal itu.
Jujur, saat kamu mengumumkan exit-mu adalah minggu yang
sama saat kami meluncurkan podcast ini. Saya langsung tahu, kamu harus jadi
tamu kami. Karena apa yang kamu lakukan benar-benar luar biasa. Kamu bukan
hanya menciptakan brand—kamu menciptakan kategori. Kamu membuka mata dunia
tentang apa yang mungkin dilakukan.
Orang-orang tidak menyadari bahwa waktu kami mulai dulu,
kategori “soda sehat” itu bahkan belum ada. Lima tahun lalu, minuman seperti
ini belum masuk rak di toko-toko. Sekarang, ada satu rak penuh untuk soda versi
baru ini. Tapi awalnya? Mereka bingung harus menaruh produk kami di mana.
Apakah masuk air soda? Enhanced water? Kami bilang, “Kami soda.”
Butuh waktu empat tahun untuk benar-benar menempatkan
kami di kategori yang tepat. Iklan Super Bowl kami sangat membantu. Kami
menyebut kata “soda” lebih dari 15 kali di dalamnya. Semua itu sangat strategis
dan penuh perencanaan.
Saya selalu bilang, apapun bisnismu—mau jualan lilin
sekalipun—jadilah yang terbaik di bidang itu. Bikin sedikit lebih baik, lebih
berbeda, lebih jujur. Tapi tetaplah fokus membangun brand yang benar-benar kamu
percaya. Itu yang kami lakukan, dan hasilnya luar biasa.
Jika kamu mau versi storytelling pendek, konten edukatif
bisnis, atau outline untuk presentasi, aku siap bantu juga.
Biasanya, bahkan merek yang hebat bisa gagal kalau tidak
punya produk yang kuat. Tapi kamu bukan cuma punya produk hebat—kamu bahkan
menciptakan kategori baru dari nol. Ini sesuatu yang jarang sekali terjadi.
Waktu kamu menyebut soal investasi, kamu bilang bahwa
kamu tahu harus mencari investor yang tepat, bukan hanya “uang bodoh.”
Bisa kamu ceritakan lebih lanjut? Seperti apa hubungan kamu dengan para
investor, dan bagaimana kamu membangunnya sejak awal?
Sejujurnya, awalnya berjalan cukup mulus. Rohan—investor
kami—benar-benar percaya pada kami sebagai founder dan pada produk ini. Tapi
ya, karena dia menanamkan modal, tentu ada pengaruh dan ekspektasi besar di
baliknya. Setelah kami muncul di acara Shark Tank, butuh waktu sembilan
bulan untuk akhirnya kami benar-benar melakukan rebranding.
Sembilan bulan? Apakah saat itu kamu khawatir kehilangan
momentum yang sudah kamu bangun?
Sangat khawatir. Saat itu nama kami masih Mother
Beverage. Kami bertanya-tanya, apakah harus tetap mempertahankan sebagian
dari nama itu? Ada ide-ide seperti Mom and Pop, tapi lama-lama terasa
terlalu “cheesy” dan kurang relevan. Akhirnya kami menemukan nama Poppy,
yang terinspirasi dari kata “soda pop.” Dari situ, misi kami pun berubah total.
Kami ingin merevolusi soda—membuat orang jatuh cinta lagi
pada soda, tapi versi yang sehat. Itu jauh lebih emosional dan kuat ketimbang
sekadar “minuman cuka apel.”
Jadi kamu benar-benar membangun ulang semuanya?
Ya. Selama sembilan bulan itu, kami rombak total. Desain
awal kami putih, karena diasosiasikan dengan kesan sehat. Tapi lama-lama kami
sadar bahwa kami ingin tampil ceria dan menyenangkan. Jadi kami ubah ke
warna-warna cerah yang playful. Kami ingin produk ini terasa fun.
Dan semua ini dikerjakan oleh…?
Empat orang saja. Saya, suami saya Steven, Rohan, dan
satu orang desainer. Kami relaunch brand ini sebagai Poppy di bulan
Maret 2020.
Tunggu—itu saat pandemi COVID-19 mulai, ya?
Tepat sekali. Minggu pertama pandemi. Kami ketakutan
setengah mati. Tapi justru saat itu dunia berubah. Orang-orang mulai
memperhatikan kesehatan mereka. Mereka baca label. Mereka cari produk yang bisa
disimpan di rumah dan tetap sehat.
Sebulan setelah itu, episode Shark Tank kami
ditayangkan ulang—dan semuanya langsung meledak.
“Meledak” dalam arti...?
Dalam sekejap, penjualan kami melonjak drastis. Tahun
pertama Poppy, kami meraih pendapatan sekitar 2 juta dolar. Tahun
berikutnya naik jadi 20 juta, lalu 50 juta, 200 juta... dan tahun ini, kami
menembus 500 juta dolar. Kami tumbuh tiga digit setiap tahun. Gila banget.
Itu luar biasa. Apalagi mengingat kamu salah satu pendiri
perempuan pertama yang berhasil melakukan exit sebesar itu di industri
ini.
Iya, dan saya sangat bangga karena kami bukan hanya
memimpin brand—kami membuka jalan. Kami menjadi yang pertama: brand soda sehat
pertama yang tampil di iklan Super Bowl, brand fermentasi pertama yang mencapai
rak nasional secara masif. Kami benar-benar menciptakan ruang baru.
Minggu saat kamu mengumumkan exit, kebetulan juga
minggu pertama kami meluncurkan podcast ini. Dan saya langsung tahu—kamu harus
jadi tamu kami. Karena apa yang kamu bangun benar-benar langka. Kamu bukan cuma
bikin brand, kamu menciptakan kategori.
Waktu kami mulai dulu, kategori “soda sehat” bahkan belum
ada. Toko-toko bingung harus menaruh produk kami di rak mana. Mereka tanya,
“Ini termasuk apa? Air soda? Minuman sehat?” Kami jawab, “Kami soda.”
Butuh empat tahun untuk membuat kami bisa masuk rak
“soda” di toko-toko besar. Iklan Super Bowl kami membantu banget—kami sebut
kata “soda” lebih dari 15 kali dalam iklan itu. Semua dirancang dengan sangat
strategis.
Saya selalu bilang, apapun produkmu—entah itu lilin,
sabun, atau minuman—kalau kamu mau masuk pasar, masuklah dengan penuh
keyakinan. Jadilah yang terbaik. Bikin produk itu sedikit lebih baik, lebih
jujur, lebih kamu. Dan tetap fokus membangun sesuatu yang kamu percaya
sepenuhnya. Itu yang kami lakukan.
Saat kami mulai mempertimbangkan akuisisi, ada tiga calon
pembeli yang tertarik. Rasanya seperti proses "berkenalan"—ada
percakapan, pendekatan, lalu koneksi. Yang membedakan Pepsi dari yang lain
adalah: mereka benar-benar memahami kami. Kami tidak menjalankan proses resmi
dengan bankir investasi karena saat itu kami belum merasa siap. Perusahaan
sedang bertumbuh pesat—dari 200 menjadi 500 dalam setahun. Kami ingin tahu
seberapa jauh kami bisa berkembang secara independen, tanpa melangkah terlalu
cepat atau terlalu lambat.
Memasuki tahun ini, saat kami mulai berpikir untuk
distribusi global, akhirnya kami merasa mungkin inilah waktunya. Keputusan kami
ambil di tahun sebelumnya, tapi prosesnya berjalan cepat tahun ini. Pepsi
menghubungi kami, lalu pembicaraan pun dimulai. Yang mengejutkan, semuanya
langsung klop. Tim kepemimpinan mereka benar-benar memahami nilai merek kami.
Janji mereka jelas: biarkan Poppy tetap menjadi Poppy. Itu hal paling penting
bagi kami.
Sebagai pendiri, wajar jika ada ketakutan bahwa
perusahaan besar akan mengubah semuanya. Tapi Pepsi benar-benar menepati janji
itu. Rasanya seperti anak saya sudah siap "masuk kuliah", dan saya
akhirnya bisa ambil waktu ke Eropa sebulan.
Kami tidak merasa perlu "menjual" ke banyak
pihak hanya demi mendapat tawaran lebih besar. Rasanya, kalau memang mereka
serius, mereka pasti datang. Apalagi iklim merger & akuisisi dalam industri
minuman beberapa tahun terakhir cukup menantang—banyak akuisisi sebelumnya yang
gagal dan menimbulkan pelajaran mahal. Bagi kami, rasanya ini memang waktu yang
tepat.
Prosesnya cepat sekali. Kami baru mulai diskusi informal
akhir tahun lalu, lalu menerima penawaran Februari, dan semuanya rampung enam
minggu setelahnya. Transaksi ini tergolong salah satu M&A tercepat yang
pernah ada.
Apakah saya punya angka di kepala? Ya. Dua miliar dolar.
Tapi jujur saja, kalau ditanya empat tahun lalu, mungkin saya akan bilang 500
ribu. Bahkan sebelumnya, mungkin 200 ribu. Target itu selalu berubah seiring
waktu. Tapi dalam hati, saya selalu merasa nilainya minimal satu miliar. Dan
akhirnya, kami sampai ke angka itu—dan bahkan lebih.
Pepsi membeli 100% perusahaan. Itu cukup langka. Jadi,
apakah saya sekarang sepenuhnya keluar? Secara kepemilikan, ya. Tapi saya tetap
terlibat sebagai penasihat, terutama untuk aspek kreatif dan sosial—hal yang
saya sukai dan kuasai. Mereka memberi saya insentif tambahan untuk tetap
mendampingi visi merek ke depan. Tidak ada tekanan, tapi ada semacam
"sweetener" yang membuat saya tetap terlibat.
Soal masa depan? Saya belum tahu pasti. Saya masih
bekerja 40–50 jam seminggu, masih aktif. Tapi saya juga sudah merencanakan
liburan keluarga pertama saya—yang selama ini selalu tertunda. Setelah itu,
saya yakin akan mendapat banyak kejernihan.
Perasaan paling dominan yang saya rasakan sekarang?
Kebebasan. Tidak punya bos. Tidak ada kewajiban melapor. Saya benar-benar bisa
memilih hidup yang saya inginkan. Mau menghabiskan waktu dengan anak-anak,
pergi berlibur, atau membangun sesuatu yang baru—semuanya mungkin.
Dan, ya, saya sudah punya dua ide baru. Apakah saya akan
kembali ke dunia startup? Mungkin. Tapi yang paling berharga saat ini bukan
hanya uang saya, tapi waktu dan pengalaman yang bisa saya bagikan. Jadi saya
mungkin akan menjadi penasihat untuk beberapa perusahaan yang saya percaya,
tapi juga tetap terbuka untuk membangun sendiri lagi.
Yang pasti, saya akan memilih brand yang digital-first.
Fokus ke media sosial, kecepatan adaptasi, dan budaya yang relevan. Karena
menurut saya, itulah masa depan.
Saya percaya bahwa fondasi dari semua ini adalah
kemampuan bercerita. Marketing yang baik selalu berangkat dari storytelling
yang kuat. TikTok dulu seperti dunia liar yang penuh potensi. Sekarang sudah
jadi permainan berbayar. Tantangannya adalah menemukan "dunia liar"
berikutnya—mungkin AI?
Saya sendiri sedang mendalami AI, mencoba belajar lebih
banyak. Saya ingin memahaminya, tidak hanya mengandalkan orang lain. Sebagai
pemimpin, saya percaya kita harus memahami teknologi baru secara mendalam agar
bisa menjadi bagian dari budaya perusahaan, bukan sekadar formalitas.
Soal anak-anak saya? Kami sedang dalam perjalanan untuk
mengajarkan mereka nilai kerja keras, keberanian bermimpi, dan tanggung jawab
dalam membangun sesuatu yang berarti—bahkan di tengah kemapanan. Kami ingin
mereka tumbuh bukan hanya dengan kemewahan, tapi juga dengan karakter.
Lebih dari sekadar punya uang, saya sering kepikiran: gimana caranya supaya anak-anak saya nggak tumbuh jadi anak manja? Karena, jujur aja, mereka udah mulai menunjukkan tanda-tanda itu.
Saya punya tiga anak laki-laki—umur 3, 6, dan 8. Jadi ya,
saya lagi di masa-masa penuh luka, darah, dan jahitan. Tapi sejak awal, kami
berusaha menetapkan contoh bahwa kami kerja keras untuk membangun sesuatu.
Uangnya datang belakangan. Sekarang tantangannya: gimana mereka juga bisa
belajar kerja keras.
Kadang ini bikin saya jengkel. Suami saya bilang,
"Mereka nggak boleh naik first class, harus belajar kerja keras." Dan
saya cuma bisa bilang, "Tapi kalau gitu, aku juga nggak bisa dong?"
Kita nggak bisa duduk pisah-pisahan di pesawat. Tapi ya, kenyataannya mereka
tetap tahu kita nginep di villa di Tuscany. Jadi larangan first class itu nggak
terlalu ngaruh.
Makanya, yang penting itu pondasinya: kerja keras dan
jadi orang baik. Kalau kami jadi orang baik, mudah-mudahan itu akan menular
juga ke mereka. Kami udah menciptakan kekayaan lintas generasi. Tapi tahu kan
pepatah: generasi pertama bangun rumah, generasi kedua tinggal di dalamnya,
generasi ketiga ngancurin. Semoga itu nggak terjadi.
Soal uang, kami udah mulai merencanakan sejak 3–4 tahun
lalu: estate planning, trust, wasiat, dan semua perencanaan keuangan keluarga.
Jadi waktu semuanya terjadi, kami udah siap. Kami punya manajer kekayaan yang
bagus. Kami akan berinvestasi—baik ke hal-hal konvensional maupun yang lebih
berisiko. Dan iya, saya juga pengin senang-senang. Tapi bukan berarti kami
langsung pindah ke rumah mewah. Kami tetap tinggal di rumah kami sekarang.
Kami tetap bakal jalan-jalan, mungkin sebulan di Eropa.
Tapi saya nggak mau jadi orang yang begitu dapat uang langsung bikin keputusan
bodoh. Saya lebih suka pelan-pelan, tetap membumi, lalu bikin keputusan besar
ketika sudah siap.
Soal belajar keuangan pribadi, awalnya dari saran founder
lain. Waktu itu kami baru menghasilkan $20 juta revenue dan dia bilang,
"Kalian harus pikirin ini sekarang." Nggak harus tunggu sampai exit
miliaran. Jadi kami mulai dari sana.
Bagian paling mahal dari semua ini? Pengacara. Karena
manajer keuangan yang bagus biasanya nggak bakal langsung minta biaya mahal.
Kalau mereka minta, cari yang lain. Jadi ya, kami nggak liburan tahun itu demi
nutup biaya legal.
Suami saya sangat rapi urusannya soal ini, dan saya
selalu ikut di setiap panggilan. Saya nggak paham semua detail pasar saham,
tapi saya tahu apa yang perlu saya tahu. Saya bisa buka aplikasi dan lihat uang
kami hari ini. Itu cukup buat saya. Yang penting, jangan serahkan semuanya ke
penasihat keuangan tanpa tahu apa-apa. Itu juga bahaya.
Kalau saya ketemu founder lain dan mereka tanya saran,
saya selalu bilang: brand dulu, lalu proses. Saya dulu anti banget sama orang
yang suka bawa agenda rapat, tapi sekarang saya justru suka karena saya nggak
suka buang waktu.
Contoh lain, waktu saya bicara di kantor pusat Target,
ada founder wanita datang dan bilang dia disuruh ubah penampilan biar kelihatan
lebih profesional. Saya bilang, “Saya pakai pink dan tetap profesional.” Jadi
ya, jangan sampai kehilangan jati diri. Kamu bisa tumbuh, tapi jangan berubah
jadi orang lain. Kamu yang mulai perusahaan itu, bukan mereka.
Saya pribadi nggak merasa berubah, tapi saya tumbuh. Saya
berkembang. Saya percaya orang yang nggak mau berkembang adalah orang yang
susah diajak kerja bareng. Perubahan itu susah, saya juga nggak suka minta maaf
atau terima kritik, tapi akhirnya saya belajar. Dan itu bikin saya jadi lebih
baik dalam memberi feedback juga.
Di awal, kita nggak tahu bahwa kita harus bisa melakukan
semua ini. Tapi ternyata kita harus, karena kita punya tanggung jawab ke tim.
Dan pelajaran paling besar buat saya: ini bukan cuma tentang saya. Dulu mungkin
iya, tapi sekarang tanggung jawab saya jauh lebih besar.
Saya paling suka saat perusahaan masih 20-an orang. Itu
titik bahagia saya. Sekarang perusahaan udah besar, semua orang kenal saya,
tapi saya nggak kenal mereka. Dan itu nggak nyaman, tapi ya begitulah.
Soal kerja bareng pasangan—saya dan suami udah lama kerja
bareng. Kami saling menghargai keahlian masing-masing. Tapi karena bidang kami
beda banget, kadang saya merasa pekerjaan saya lebih penting. Dia urus operasi
dan tim inovasi, bahkan punya ilmuwan PhD di bawahnya. Tapi saya urus brand dan
event. Jadi saya sering bilang, “Event aku lebih penting, kamu batalin offsite
kamu.” Dan dia bilang, “Enggak, dong.”
Jadi ya, kadang ada konflik begitu. Terus karena kami
selalu bareng, kadang lupa ngobrol soal kehidupan pribadi. Kita kayak, “Eh,
kita udah seminggu nggak ngobrol soal hidup, lho.” Semua pembicaraan jadi
tentang bisnis. Dan karena bisnisnya seru, kita terus bahas itu. Jadi ya,
realitanya nggak seindah kelihatannya, tapi tetap indah dengan cara sendiri.
Bagaimana Menjaga Pernikahan dan Bisnis Tetap Harmonis
Menjalankan bisnis bersama pasangan bukan hal mudah,
apalagi sambil membesarkan anak-anak. Tapi kami menemukan cara: kami memberi
“review tengah tahun” dalam pernikahan kami. Serius. Bukan review formal tentu,
tapi kami saling memberi umpan balik secara terbuka, seperti dalam tim kerja.
Beberapa bulan lalu sempat berat. Saya sering bepergian
untuk press tour, dan saat pulang saya kelelahan. Suami saya sudah seminggu
penuh mengurus anak-anak dan mulai merasa kewalahan. Akhirnya dia bilang,
"Anak-anak cuma pengin dekat kamu, kamu harus ada di rumah." Itu jadi
momen penting buat saya. Saya sadar, saya memang bisa bilang “nggak” ke banyak
hal. Jadi saya kosongkan jadwal, lebih banyak di rumah. Dan itu ternyata bikin
saya lebih bahagia.
Kami nggak pernah bertengkar hebat, tapi kami selalu
jujur satu sama lain. Kadang saya butuh diingatkan untuk pelan-pelan. Saya
benci mengakuinya, tapi dia benar. Dan pola komunikasi terbuka inilah yang
bikin hubungan kami tetap kuat—baik sebagai pasangan maupun partner bisnis.
Saya akan 100% lakukan ini lagi. Bisnis apa pun ke depan,
saya ingin tetap menjalankannya bersama suami saya. Dan dia juga merasa sama.
Tapi ada satu kekhawatiran dari dia: “Kalau idenya bukan dari kamu, kamu nggak
akan sepenuh hati jalaninnya.” Saya jawab, “Tergantung idenya apa. Nanti saya
kasih review tengah tahun juga.”
Momen Setelah Exit: Antara Haru dan Kosong
Setelah kesepakatan besar itu resmi, saya dan suami hanya
ingin makan siang berdua untuk merayakan. Tapi kenyataannya, anak-anak rewel,
kami kelelahan, dan baru bisa santai keesokan harinya. Kami pergi yoga dan
makan siang. Justru itu lebih bermakna daripada perayaan besar-besaran.
Lucunya, hidup setelah exit itu nggak jauh beda. Ada
kebebasan, iya. Tapi juga rasa kehilangan. Ini akhir dari bab yang kami
kerjakan selama lebih dari tujuh tahun. Emosinya campur aduk: senang, sedih,
lega, bangga—semuanya dalam satu hari. Jadi saya sekarang benar-benar fokus
menjaga kesehatan fisik dan mental saya.
Kalau Poppy terus berhasil, saya bahagia. Kalau dulu
Pepsi nawarin saya kerja lanjut 3 tahun sebagai bagian tim, saya mungkin
terima. Saya cinta banget sama brand ini. Tapi saya tahu, sekarang waktunya
Poppy berdiri sendiri.
Mimpi dan Ketakutan Soal Masa Depan Brand
Mimpi buruk saya? Melihat iklan Poppy versi generik dan
murahan—model plastik, senyum kaku, cheers di pinggir kolam. Bukan itu Poppy.
Kami selalu pakai orang nyata, komunitas, dan itu yang bikin brand kami hidup.
Mimpi terbaik saya? Melihat Poppy di mana-mana—hotel,
restoran, bahkan di Eropa. Saya ingin Poppy jadi "soda" versi
anak-anak dan cucu-cucu saya. Jadi ketika mereka bilang, “Boleh minum soda,
nggak?”—yang mereka maksud adalah Poppy. Bukan "better for you soda",
tapi soda itu sendiri.
Sisi Personal yang Sederhana dan Jujur
Di tengah kesibukan, saya tetap butuh hal-hal kecil yang
membuat saya bahagia.
- Pagi
hari: minum kopi sambil scroll TikTok.
- Malam
hari: segelas wine dan TikTok (atau nonton reality show bareng suami).
- Acara
favorit? Love Island dan Kardashians. Saya juga suka The Only Way is
Essex, karena saya besar di dekat sana.
Saat ini, apa yang saya cita-citakan?
Di bisnis: normal.
Di kehidupan pribadi: juga normal.
Saya dulu sangat butuh pengakuan dan pujian. Sekarang?
Saya tahu saya berhasil tanpa harus mendengar itu dari orang lain. Sebaliknya,
saya dulu keras kepala dan merasa selalu benar. Tapi sekarang saya benar-benar
menghargai pendapat orang lain. Kolaborasi itu penting. Dan saya telah tumbuh.
Comments
Post a Comment